TENGKORAK PENARI GANDRUNG

114 12 3
                                    

Antara percaya dan tidak dengan ucapan Mala. Gendis, dan Puan hanya membiarkan Mala membuktikan ucapannya, begitu juga Daryono. Daryono hanya bersedekap di ambang pintu.

Bak ada para panjak yang memainkan tetabuhan, Mala mulai meliuk menari. Terlihat begitu luwes saat Mala mulai mengerakkan kepala.

Gerak songkloh sebagai awal tari jejer, dia lakukan dengan sempurna.

Dengan sedikit menarik pinggul ke samping, tampak gerak ngelayung.

Terpana Gendis dibuatnya. Begitu selaras tiap entak tangan dengan perpindahan kaki Mala, ditambah jengket, Mala begitu terlihat terlatih dalam menari.

"Aku sepertinya pernah melihat gerak tari seperti itu," ucap Puan lirih, tak begitu terlihat riak bangga melihat Mala yang tak pernah menari, kini sungguh terlihat begitu lihai dalam menari gandrung.

Mala begitu menikmati tiap entak kempul yang terdengar di telinganya, bahkan seakan dia telah menyatu dengan iringan tetabuhan. Sesekali dia melakukan ngeber, sebelumnya diawali dengan jejeb.

Mala bergerak dengan merentang sampur, mendekat ke arah Daryono.

Tatap mata terlihat menggoda. Berkali-kali dia melempar selayang lirik kepada Daryono yang tak memberikan reaksi apa-apa kepada Mala yang terus menari.

"Bahkan beberapa hari saja Mala terlihat terampil dalam menari," bisik Puan kepada Gendis.

"Iya. Kemajuan yang luar biasa, tetapi apa iya secepat itu Mala begitu mahir menguasai tari?"

"Entah. Aku juga kurang mengerti, tetapi yang pasti, dia telah kembali kepada kita, dan aku harap dia tak akan pernah lupa dengan tarian ini sewaktu kita pulang." Puan terus berdiri memperhatikan Mala.

 Entak bokong, gemulai gerak lengan, semua masih terlihat di hadapan Daryono.

Mala menghentikan tariannya, menatap Daryono, seiring tetabuhan yang mengalun di telinganya berhenti.

Daryono tetap dengan sikapnya, tak begitu tertarik dengan apa yang diperlihatkan oleh Mala.

"Mas Daryono tak begitu menyukai tarian jenis apa pun, La." Gendis sudah berdiri di belakang Mala.

"Aku mengerti." Mala tertunduk kecewa.

"Sebaiknya kita berkemas menunggu Pakde Saring pulang. Setelah itu kita akan menunggu Pak Serabi," kata Daryono.

Mala menggeleng.

"Aku masih ingin di Banjarsari. Aku masih ingin menari." Mala mengatakannya dengan bibir bergetar seakan menahan rasa bergolak di hatinya.

"La? Kita harus kembali ke sekolah, bahkan kita telah membuat orang tuamu, orang tua kita khawatir," hibur Gendis.

"Tidak. Ibu tak pernah mengkhawatirkan aku. Dia bahkan melarang aku untuk belajar menari."

"Itu karena kamu memang tak bisa menari. Ya, wajar saja ibumu tak mengantarkan kamu ke sanggar tari." Terdengar pedas, satu ucapan Puan.

"Mala, kamu bukan anak kecil lagi. Justru setelah pulang, kamu bisa menunjukkan kepada ibumu bahwa dari Banjarsari kamu bisa menari, bukan berarti dia tak pernah mengkhawatirkan keadaanmu," tambah Gendis.

"Tidak! Mereka jahat!" bentak Mala, seketika dia menangis seraya menutupi wajah dengan ujung sampur.

"Sebaiknya kita masuk. Pagi sebentar lagi datang, semoga Pakde Saring pulang hari ini. Kemas barang kalian," pinta Daryono.

"Aku tidak mau pulang! Tidak!" Mala berlari dalam tangis, meninggalkan mereka yang terkejut mendengar keputusan itu.

"Mala, tunggu!"

𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang