MISTERI PATUNG MERAH

259 21 3
                                    

Ketiganya sudah sampai di perempatan jalan. Tumpukan cor cetak yang menyajikan berbagai model patung taman terlihat lengang. 

Dua orang yang terlihat saling gotong untuk memindahkan satu patung kayu berwarna merah gelap.

Seperti biasa, ketiganya langsung memasuki ruangan yang lumayan luas.

"Sudah pada pulang, ha?" sapa lelaki yang berdiri seraya memegang kain kumal.

"Sudah, Pakde," jawab Puan.

"Sudah ada yang baru, Pakde?"

Lelaki itu hanya mengangguk disertai senyum ramah. "Kalian bisa melihat-lihat. Sana."

"Baik, Pakde."

"Eh, tetapi jangan sentuh patung basah, ya."

"Tenang saja, Pakde. Kita bisa menjaga tangan kita, meski gatal untuk meraba bagian tertentu." Ketiganya berlalu dari sisi pintu.

"Eh, bagian mana yang kamu maksud, La?"

"Maksudmu?" Mala balik bertanya.

"Yang kamu ucapkan tadi."

"Tangan. Memang ada bagian lain, ya?"

"Sudah, ayo." Puan menarik tangan Mala.

****

Deret patung terlihat berjajar rapi, meninggalkan ruangan yang tadi banyak diisi oleh patung cor dari semen. 

Kini mereka sudah sampai di ruangan yang sedikit gelap. Guntingan-guntingan kertas sebagai bahan pelindung patung kayu sewaktu di dalam kotak masih tampak berserak.

"Eh." Mala menutup hidung.

"Kenapa?"

"Amis," jawab Mala.

"Mungkin ini bau dari cat yang belum kering sempurna." Puan menambahi.

"Wah! Coba lihat ini." Puan berdiri di depan patung perempuan dengan menyilangkan tangan di dada.

"Semua patung kayu ini kenapa berwarna merah?" Gendis datang setelahnya.

"Uek!" Mala terus memegangi perut.

"Apa kalian benar-benar tak mencium bau amis, ha."

Puan dan Gendis menoleh kepada Mala yang terus menutup hidung.

Puan menatap Gendis kemudian. Hanya geleng sebagai jawaban atas tanya tak terucap.

"Aku tunggu di luar, ya." Mala lalu berlari meninggalkan Gendis dan Puan.

"Aku heran. Bukan kali pertama kita ke sini, tetap saja dia berkata bau amis," gumam Puan seraya terus mengelus tangan patung hanya terlihat halus oleh lumur cat.

"Andai uangku cukup. Aku ingin sekali membeli patung-patung ini untuk hiasan ruang tamu."

"Atau malah terlihat bagus kalau diletakkan di samping pintu depan. Iya, 'kan?"

"Ndis?" Puan tersadar saat dia hanya bicara sendiri.

"Ndis, Gendis!"

"Kebiasaan. Kalau pergi tidak mau bilang-bilang," rutuknya.

Hidung Puan terlihat kembang kempis saat bau yang dikatakan Mala sedikit menyeruak.

Ujung tangannya dia gerakkan untuk menyentuh muka patung. Terlihat aneh memang, patung yang seluruhnya dilumuri cat merah dengan wajah menyeringai menakutkan tak sejalan dengan ekspresi tangan yang terlihat manja.

Sejenak Puan melempar pandang ke arah kanan, tampak satu pohon kemboja, tak terlihat gelondongan kayu atau orang yang bekerja memahat. 

Dan tiap kali dia bertanya dari mana patung-patung berwarna merah itu didatangkan, hanya senyum mengembang membungkus semua rasa penasaran.

𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang