PAKDE SARING

166 16 9
                                    

"Hompimpa alaikum. Gambreng." (Dari Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Ayo, bermain).

Empat anak perempuan duduk melingkar di teras. Tampak satu keping kecil pecahan genteng serta beberapa biji batu putih yang digunakan sebagai anak dalam permainan gateng.

"Isun sulung." (Aku dulu).

"Dor!"

"Dor!"

Dua anak bertelanjang dada saling kejar dengan bedil pelepah pisang.

Satu suguhan pemandangan saat mereka sudah menjejak tanah perkampungan.

"Ini kampungnya? Benar, 'kan?" tanya Mala. Entah kepada siapa pertanyaan itu tertuju.

"Apa kita harus bertanya kepada mereka, Mas?" Maksud Gendis untuk menanyakan rumah Pakde Saring kepada bocah perempuan yang tampak asyik bermain.

"Dor!"

"Dor!"

Perhatian mereka tertuju kepada dua anak yang terus saling kejar.

"Dik!" teriak Gendis. Sayang mereka tak mendengarnya, lalu hilang di belakang rumah.

"Kita tanya saja dengan mereka. Ayo," ajak Mala.

Puan beserta Gendis mengikuti Mala menuju teras.

"Dik, mbak punya ini. Mau?" Mala mencoba menawarkan satu bungkusan yang berisi irisan tipis.

Keempatnya hanya memandang bungkus merah di tangan Mala yang terus tersenyum.

"Melayu!" (Lari!). Justru salah satunya berteriak diikuti tiga lainnya berlari menuju ke dalam rumah.

"Ada apa dengan mereka? Sepertinya mereka ketakutan melihat kita," kata Mala.

"Melihatmu!" sambar Puan.

"Sudah! Aduh ... sudah. Kita tanya yang lain saja," lerai Gendis seraya kembali menuju Daryono yang berdiri di samping jalan.

"Sepertinya mereka ketakutan melihat Mala," kata puan kepada Daryono.

"Kok aku," bantah Mala.

"Yang bertanya tadi siapa, ha?"

"Aku."

"Ya, sudah. Artinya anak-anak itu takut denganmu."

Daryono menggeleng lalu melangkah meninggalkan mereka, menyusuri jalan yang membelah dua deret perkampungan kecil dengan rumah tekel balung.

"Dor!"

"Dor!"

Bruk!

Satu anak terjatuh setelah tak sengaja menabrak Daryono.

"Kamu tidak apa-apa?" Daryono mencoba mengulurkan tangan. Bocah lelaki menyambutnya dengan dua kali menggelengkan kepala.

Tampak satu pintu gebyok terbuka. Perempuan dengan bawahan jarit tergesa melangkah. Setengah memaksa, dia menarik lengan bocah laki-laki dan membawanya masuk.

"Bu!" teriak Puan, maksud hati ingin sekalian bertanya.

Brak!

Dan itu jawabannya, pintu seketika rapat kembali.

"Aneh? Kenapa seolah-olah bocah itu tak boleh bertemu kita?" Gendis menoleh ke arah Daryono.

"Kita orang asing di kampung ini. Wajar," jawab Daryono.

"Eh, itu sepertinya anak yang tadi bermain bersamanya. Coba ayo kita tanya." Mala mencoba melangkah, tetapi ditahan oleh Puan.

"Biar aku saja," katanya, seraya melangkah diikuti yang lain.

𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang