BEKAS KEBUN JAGUNG

166 18 10
                                    

"Uek!"

Puan masih terasa mual dengan berkali-kali menunduk, membuat mereka kali ini menghentikan langkah.

"Bagaimana ini, Mas?" tanya Gendis terlihat bingung, setelah Puan meminta untuk berhenti dengan memegang tangan Gendis.

"Aku bilang juga apa. Jelas tadi aku melihat yang kalian makan adalah belatung dengan daging busuk. Itu tak terlihat bulat seperti bakso," Mala yang terus berusaha untuk memijat tengkuk Puan bersuara.

"Apa?"

"Benar apa yang kamu katakan, Mala?"

Mala hanya berdiri menatap satu persatu, seakan tatapan itu mempertanyakan kebenaran dari ucapannya.

Mala membekap dada seraya mengangguk.

"Dan anak-anak itu bukan sedang menikmati bakso. Mereka hanya diam tak menyentuh apa pun. Hu hu hu." Justru Mala yang menangis setelah mengingat kembali apa yang sebenarnya terjadi dalam penglihatannya.

"Kita dari tadi bahkan tak menemukan satu rumah penduduk, tetapi apa kalian sadar? Dari mana datangnya anak-anak itu, ha! Hu hu hu." Semua larut dengan ucapan Mala.

Daryono mencoba menoleh ke belakang, diikuti Gendis yang membalikkan badan. Perempatan itu masih terlihat benderang oleh cahaya petromaks.

Gendis menoleh ke arah Daryono, satu tatap balas lekat menatapnya. Sebuah pertanyaan atas warung tenda yang menjual bakso, tetapi tak terlihat ramai oleh anak-anak, bahkan tak satu orang pun duduk di bangku kayu yang tadi dipenuhi oleh anak-anak.

Puan yang masih merasakan pusing terpancing untuk membalikkan badan setelah Daryono dan Gendis tak bersuara, tetapi hanya memandang perempatan jalan.

Sama, Puan juga tak melihat ramai pembeli, apalagi anak-anak.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Secepat itukah orang tua mereka menjemputnya untuk segera pulang?" tanya Puan. Tak ada salah satu dari mereka yang menjawab.

"Ayo. Jangan pernah melihat ke belakang." Daryono mengusulkan untuk mereka segera melangkah, menjauh dari perempatan jalan yang masih terlihat dari tempat mereka melangkah.

****

"Kenapa bodoh sekali. Kenapa kita tak mencatat alamat rumah Pakde Saring, Mas."

"Untuk apa? Pak Serabi sudah bertahun tahun keluar masuk Banjarsari, jelas tak mungkin kita diturunkan di tempat yang salah," bela Daryono, jelas dia tak mau disalahkan.

"Seberapa luas sebenarnya Banjarsari, ha? Apa iya kita tak mungkin menemukan rumah Pakde Saring," imbuhnya.

"Lihat! Itu!"

Mala menunjuk satu cahaya yang bergerak menyeberang jalan, seperti cahaya obor yang dibawa oleh seseorang.

"Ayo, dengan begitu kita akan segera sampai di rumah Pakde Saring!"

Jangankan untuk berlari, berjalan tegak pun susah bagi Daryono, hingga akhirnya Mala memutuskan untuk mengejar orang yang memegang obor.

"Pak!"

"Tunggu!

"Pak!"

Teriakan Mala bagai tak terdengar, nyatanya cahaya itu terus bergerak.

"Tunggu!"

"Sebaiknya kita ikuti saja orang itu. Mungkin dia bisa mengantar kita untuk menunjukkan rumah Pakde Saring!" Mala terengah-engah dengan menunduk memegang perut.

Tanpa berucap lagi, Gendis yang terus menggandeng tangan Puan diikuti Daryono mencoba mengikuti langkah Mala yang setengah berlari.

"Tunggu!"

𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang