PEMBANTAIAN DI KEBUN JAGUNG

103 14 5
                                    

Sekarang katakan apa yang sebenarnya terjadi, Puan." Lekat Gendis menatap sepintas pias wajah Puan.

"Puan?"

Puan menggeleng, mengisyaratkan tak terjadi apa-apa terhadapnya.

"Terus? Kenapa sikapmu dingin seperti ini?"

Lagi, Puan menggeleng.

"Keadaan lagi tak memungkinkan buat kita bercanda. Apa kamu lupa kalau kita harus segera menemukan Mala, ha!" Suara Daryono terdengar jengkel.

"Mas, beri waktu buat Puan untuk menjelaskan semua ini," bela Gendis.

"Sampai kapan dia mau buka mulut, he? Kalian memang tak pernah tahu akan situasi." Daryono melangkah mendekat.

"Tidak seharusnya begitu, Mas." Urung Gendis menapak langkah untuk menghampiri Daryono saat tangan Puan terasa begitu dingin mencegahnya dengan meraih lengan Gendis.

"Dari mana saja kamu, he?" Daryono sudah berada di depan Puan.

Makin dalam Puan menunduk.

"Bahkan aku dan Gendis hampir saja menuduh Pakde Saring dan Mbokde Renjong yang tidak-tidak. Kamu pikir ini lelucon. Iya!"

"Hu hu hu." Sedu isak menghentikan ucapan Daryono saat kembali tangis Puan terdengar.

"Aku sendirian." Puan buka suara.

"Puan, aku sudah meminta maaf kepadamu. Bukan maksud ...."

"Halah! Tidak usah dibawa pikir, yang penting kamu sudah kembali, lalu ceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Ke mana saja kamu selama ini, he?" kejar Daryono seakan tak sabar mendengar tutur akan hilangnya Puan.

"Aku bersembunyi."

"Bersembunyi?"

Satu angguk menjawab pertanyaan Gendis.

"Mak ... maksudmu bersembunyi?" Gendis menoleh ke arah Daryono, satu gerak ringan tangan untuk memintanya pergi.

"Biarkan kami berdua dulu, Mas."

Hanya mendengus, Daryono melangkah meninggalkan mereka.

"Kamu mau kita ke kamar untuk bercerita?"

Puan tak menjawab, justru lebih memilih melangkah menuju pintu belakang yang terbuka.

"Puan, tunggu!"

Selangkah Puan di depan pintu, berdiri membelakangi Gendis.

"Apa sesungguhnya yang terjadi denganmu, ha? Biasanya kamu akan mencariku untuk menceritakan apa yang kamu rasakan. Sikapmu begitu berubah, begitu dingin, Puan."

"Kalian harus segera pergi dari sini." Puan berbalik, menatap Gendis dengan sorot kesedihan.

"Iya, kita akan segera pulang dengan kabar keberadaan Mala." Gendis mencoba mendekat, tetapi urung saat Puan menahannya dengan mengangkat tangan sejajar dada.

"Aku tadi melihat Mala. Dia ada di tempat paling aman saat ini."

"Aku akan pergi ...."

"Pergi? Pergi katamu! Ini tidak lucu, Puan!" seru Gendis, menahan lonjak rasa yang dia pendam sedari tadi.

"Jangan pernah mencariku. Aku sudah abadi di tempatku."

"Kamu ... kamu ini bicara apa, Puan! Tidak ... tidak, Puan. Ini bukan waktunya."

Gendis mencoba mencari tahu apa yang terjadi dengan memandang wajah Puan yang terlihat pucat. "Wajahmu begitu pucat, sikapmu begitu dingin. Kamu bukan Puan yang aku kenal. Hu hu hu." Tangis yang menggambarkan betapa semua terasa mencekik rasa di hati.

𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang