RENCANA BESAR

108 16 6
                                    

"... Begitu ceritanya."

"Awalnya aku kira itu ulah Mala dan Gendis, hingga akhirnya aku mencium bau amis yang amat." Puan menceritakan kejadian di toko patung dulu.

"Dan kini aku baru tahu, kalau patung yang dipajang di toko itu ternyata patung buatan Pakde Saring."

"Terus apa hubungannya dengan Lestari, dengan hilangnya Mala, ha?"

"Aku merasa ada yang aneh di patung itu, Mas?"

"Pasti ada sesuatu di dalam patung itu."

"Baunya tak seperti cat, tetapi amis seperti darah." Puan terus memaksa Daryono atas ceritanya.

"Bila benar mayat Lestari dikubur untuk menyembunyikan bukti kejahatan. Aku yakin, patung-patung merah itu pasti menyimpan satu cerita di dalamnya." Puan terus meracuni otak Daryono dengan segala kemungkinan yang dia duga.

"Puan, bila benar ucapanmu itu tadi, sekarang bahkan kamu ada di tempat di mana patung-patung di toko itu dibuat. Kalian lihat sendiri, 'kan?"

"Mas, ayolah, Mas. Mas sendiri yang mengatakan kalau Mas, pernah melihat mayat yang digantung tanpa kepala. Mas, masih ingat dengan tengkorak Lestari? Tidak ada tengkorak kepala di dalam kuburannya, Mas."

"Bahkan kami berdua sekarang mulai berpikir tentang semua yang Mas alami. Benar, Mas yang menumpahkan cat waktu itu? Mas Daryono sendiri yang bilang kalau itu bukan cat."

"Mas Daryono, mengajak kami ke ruangan di sana." Gendis menunjuk bagian dalam ruangan yang diisi deretan patung.

"Bahkan Mas, yang mengatakan kalau melihat Mala, hingga akhirnya Mas, tersadar di kamar? Kami menemukanmu di halaman belakang rumah, Mas. Aku rasa kita harus mencari tahu semua ini, Mas." Gendis tak melepaskan pegangan tangannya, terus memegangi lengan Daryono.

"Terus mau kalian apa sekarang." Daryono tak bisa berkata banyak.

"Semua sudah terlambat. Aku rasa patung-patung yang dibawa mobil itu menyimpan satu jawaban, atau malah sesungguhnya semua misteri ini bisa dipecahkan."

"Baiklah. Aku turuti apa mau kalian, tetap pada rencana awal." Daryono melangkah meninggalkan Puan dan Gendis yang hanya bisa melepasnya dengan tatap harap.

****

"Ah, sayang sekali, Le."

"Padahal rencananya Pakdemu akan mengajak kamu untuk menemui tukang cat."

"Dalam beberapa hari ke depan, beberapa patung sudah dipesan. Pakdemu itu orangnya tidak sabar. Mbokde sudah bilang untuk menunggumu sebentar, tetapi ya, seperti itulah Pakdemu."

Daryono hanya bisa memilih duduk, pupus sementara harapan untuk satu titik terang kebenaran cerita akan satu temuan besar di halaman rumah belakang.

"Eh, loh? Kalian sudah bangun toh? Mbokde kira kalian masih di kamar."

"Kami hanya menikmati sejuknya embun pagi tadi, Mbokde," kata Gendis seraya melangkah ke samping Mbokde Renjong.

"Mbokde, ke mana saja?"

"Mbokde Renjong menginap di rumah Odang."

"Kang Odang?"

"Iya. Kamu kenal, Nduk?"

"Kang Odang yang jualan pentol itu?"

"Loh, kamu kok tahu?" Mbokde Renjong menatap heran.

"Bukannya Mbokde, ada di situ malam itu?"

"Di mana?"

"Mbokde, Mbokde ... Mbokde, sendiri yang bilang dari sore membantu Kang Odang. Di tempatnya berjualan pentol yang Mbokde buat."

𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang