"Kalian lihat sendiri, 'kan? Tidak ada jalan pertigaan, yang ada satu jalan menurun menuju kampung bawah," kata Pakde Saring menunjuk perkampungan yang terlihat sepi.
"Sungguh. Semalam kami berpisah di sini. Di pertigaan ...."
"Mana? Jangankan setapak. Itu hanya belukar, Nduk."
"Lalu kita akan mencari ke mana, Pakde?" tanya Daryono di sebelah Puan.
"Itu yang aku heran," jawab Pakde Saring lirih.
"Kalau memang dia tersesat, tidak mungkin sampai selama ini. Bila dia sama seperti kalian dibawa ke alam demit, kita bisa berbuat apa."
"Tolong Gendis, Pakde. Kami tak bisa pulang tanpa Mala."
Puan melangkah ke samping. Benar apa yang dikatakan oleh Pakde Saring, tidak ada pertigaan jalan, padahal jelas dia dan Gendis terakhir melaluinya.
"Kamu masih ingat burung hantu itu, 'kan? Itu tak jauh dari pertigaan jalan."
Gendis menoleh dengan sedikit berkernyit, dia melangkah menuju belukar saat melihat satu warna lain dari hijaunya daun.
"Apa sebaiknya kita mencari sampai ke ujung kampung, Pakde?"
"Bahkan setiap sudut sudah kami cari untuk menemukan kalian, Le" jawab Pakde Saring.
"Lalu ke mana Mala? Apa mungkin dia benar-benar hilang begitu saja?" Puan makin menambah bingung Pakde Saring.
"Kalian hilang, dan muncul tiba-tiba. Kalian pikir itu kebetulan? Pakde sudah meminta bantuan penduduk untuk mencari kalian. Kini Mala tak juga kembali, Pakde jadi tidak habis pikir. Ke mana dia?"
"Atau kita lapor polisi saja," usul Puan.
"Akan bertambah repot kita dengan segala macam pertanyaan. Kalian pikir polisi akan menerima alasan kalian yang dibawa ke alam lain dengan meninggalkan Mala. Iya?"
"Lihat!"
Teriakan Gendis memecah konsentrasi ketiganya. Pakde Saring lalu mendekat ke arah yang ditunjuk.
"Bukankah itu robekan baju Mala. Hu hu hu." Gendis menangis, membayangkan hal buruk yang menimpa Mala.
Semua bungkam. Hanya bisa memandang selembar kain berwarna kuning, kaus terakhir yang dikenakan Mala saat malam itu.
"Iya. Aku ingat betul kaus yang Mala kenakan. Itu adalah robekan kaus Mala," timpal Puan dengan memandang Daryono.
Dengan pincang Daryono mengambil kaus yang tercabik di atas rumput, matanya memperhatikan sekitar. Ada jejak seperti langkah yang melaluinya, itu terlihat dari lorong kecil yang terbentuk.
"Darah! Ini seperti darah yang sudah mengering!"
Mendengarnya, Gendis makin histeris mengetahui ujung-ujung rumput berwarna merah kehitaman.
Pakde Saring lalu merunduk mengamati lalu mengambil sejumput, menciumnya. Berbalik menatap Gendis yang menyembunyikan wajah di pelukan Puan.
"Ini bukan darah, hanya getah angsana." Pakde Saring mencabut sejumput lalu menunjukkannya kepada mereka.
Daryono mendongak. Angsana muda memang tumbuh di antara belukar pakis, tetapi segera dia melempar selayang lirik saat melihat satu bocah kecil melambai ke arahnya. Untuk memastikan itu, Daryono menoleh ke arah puan yang terus mencoba menenangkan Gendis.
Sementara Pakde Saring terlihat berbicara untuk meyakinkan kepada Gendis dan Puan itu hanya getah yang berwarna merah.
Bocah itu terus melambai memanggil Daryono. Sekali lagi Daryono menoleh ke arah mereka. Seakan tak peduli saat satu langkahnya mulai menuju bocah yang melambai di belukar rendah yang menutup separuh bawah tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛
HorrorDengan diantar Pak Serabi, mereka pergi ke Banjarsari, setelah Daryono berkeinginan untuk terus menjaga suluh keluarga agar tak padam. Bukan tanpa sebab, mengingat bapaknya hanya dua bersaudara dan tujuannya ke Banjarsari tak lebih untuk mencari keb...