Daryono mencoba membuka mata. Terasa berat, bahkan kepalanya terasa ingin meledak.
"Gendis," ucapnya tanpa bibir bergerak, sementara darah tak berhenti menetes dari mata yang terus mengalirkan darah segar.
Gelap, terasa senyap.
Laju napasnya mulai tersendat-sendat. Maut kian mendekat.
"Gendis, maafkan aku." Terasa lemah, bahkan kini hanya sebatas tenggorokan saja.
Sungguh Daryono tak mengetahui kalau lelaki yang berdiri di sampingnya sudah siap dengan rimbas di tangan. Deru napas memburu seakan tanda bahwa lelaki itu telah siap untuk menghabisi nyawa Daryono yang tergantung terjungkir.
"Ucapkan selamat tinggal. Kalian salah telah datang ke sini. Kalian terlalu lancang untuk mencampuri urusan kami."
Senjata siap diayunkan. Sisi tajam jelas terlihat dalam sinar lampu penerangan, berkilau seakan siap memutus laju napas Daryono yang masih sejengkal di ubun-ubun.
Daryono sudah tak bisa merasakan dingin sisi tajam rimbas saat lelaki itu menempelkan tepat ke lehernya.
Crat!
Jrat!
Bluk.
Ada yang jatuh ke lantai, disusul wadah tembaga yang berdenting seiring sesuatu yang deras menetes.
Tes!
Tes!
Tes!
Kaki lelaki dengan rimbas yang telah berlumur darah tampak bergetar, noda darah membasahi pakaian.
"Ha ha ha," tawanya meledak seketika.
"Pulanglah! Cuci kakimu dan tidur tenang dalam belai mimpi. Ha ha ha."
Mata iblis dari balik serobok melirik satu tubuh yang sedari tadi diam tak bergerak. Sama, tergantung dalam posisi terjungkir, dan itu adalah Gendis yang belum sadar saat kepala Daryono sudah terlepas dari leher.
****
Di suatu tempat.
"Puan?"
"Iya, Mas. Kau datang, Mas?"
"Aku ... aku sudah bisa melihatmu dengan jelas, Puan." Daryono mengamati kedua telapak setelah setengah dada dia mengangkatnya, terlihat pucat.
Puan mengulurkan tangan, Daryono meraihnya. Bahkan kakinya tak lagi pincang, dia bisa merasakan itu.
"Kita mau ke mana, Puan?"
Puan hanya menoleh seraya tersenyum dalam balut pakaian putih.
"Berjalan dan menuju tempat paling abadi."
Daryono tersenyum mendengarnya, lalu melangkah di samping Puan yang terus menggenggam jarinya. Hamparan bunga bagai tak bertepi dalam naung langit lindap.
Sejenak Daryono menoleh ke belakang, masih terlihat di matanya satu tubuh tergantung, dan kepala yang menyerupai wajahnya, tergeletak di lantai dalam genang simbah darah.
****
Kembali ke ruangan ini.
Tes!
Tes!
Tes!
Darah terus menetes, keluar dari menganga leher tubuh Daryono yang tergantung.
Kedua kaki yang menjejak lebar masih berdiri, bahkan sisi tajam rimbas jelas terlihat menyeringai.
"Oh." Gendis mulai membuka mata, pusing teramat saat terasa segenap darah sudah berkumpul memenuhi seluruh kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛
HorrorDengan diantar Pak Serabi, mereka pergi ke Banjarsari, setelah Daryono berkeinginan untuk terus menjaga suluh keluarga agar tak padam. Bukan tanpa sebab, mengingat bapaknya hanya dua bersaudara dan tujuannya ke Banjarsari tak lebih untuk mencari keb...