MAKSUM

109 14 4
                                    

"Tidak, Pak. Aku tak mau." Mbokde Renjong berkali-kali menyeka sudut mata.

"Aku mohon jangan mereka," sambungnya.

"Tidak bisa. Mereka sudah terlalu jauh mengetahui ini semua." Pakde Saring beranjak dari sisi tempat tidur.

"Aku mohon, Pak." Mbokde Renjong memohon dengan meraih tangan Pakde Saring.

"Tidak ada yang tahu! Bahkan selama ini semua aman-aman saja!"

"Tidak. Hu hu hu." Dibalas oleh tangis Mbokde Renjong.

"Tetapi semua sudah terjadi, Mak 'e!"

"Tidak! Tolong sampaikan kepadanya, jangan sakiti mereka. Aku tak akan rela, hu hu hu."

"Bahkan mereka bukan siapa-siapa kita, Mak 'e! Sudahlah! Andai Suratman datang dan menanyakan mereka, sangat begitu mudah meyakinkannya, dan semua akan tetap seperti selama ini, Mak."

"Aku tak mau ini melantur-lantur!" Pakde Saring melangkah menuju pintu, meninggalkan Mbokde Renjong dalam sisi yang bisa menjatuhkannya ke jurang dosa yang dirasa.

****

Kembali kepada Gendis dan Daryono.

Daryono dan Gendis bersembunyi di antara deret patung yang ada. Sayup masih menyisakan tangis dari Gendis yang memeluk Daryono erat dalam ketakutan.

Keletak.

Keletuk.

Suara langkah terdengar dari sisi bagan dalam ruangan.

"Mereka datang, Mas."

"Sst."

Dari sela sempit, dengan jelas mereka dapat melihat dua lelaki berpakaian hitam keluar dari ruang terang.

"Ketewasan, Kang! Ke mana mereka!"

Seketika suara derap langkah memburu terdengar. "Cari! Cari dan temukan mereka, cepat!" perintah lelaki dengan satu jombret di tangan.

Keduanya berpencar, mencari Gendis dan Daryono dari setiap celah deret patung.

"Bagaimana, Mas," bisik Gendis, makin erat menggenggam tangan Daryono.

Daryono menggeleng, tanda dia belum mendapat cara untuk meninggalkan tempat ini, terlebih satu lelaki tadi terlihat menuju pintu keluar.

"Kita tunggu sampai benar-benar aman."

Gendis menutup membekap mulut, serentak keduanya menahan napas saat suara langkah satu lelaki dengan serobok mendekat dari ujung deret patung, satu deret pada bagian tengah.

Keletak.

Keletuk.

"Aku tahu kalian masih di sini. Keluar!" serunya.

Dok!

Dok!

Dok!

Bunyi benda yang membentur patung.

Keletak.

Keletuk.

Keletak.

Keletuk.

Dok!

Satu lempeng pipih bermata tajam, dan itu tepat di hadapan Gendis, di samping Daryono yang duduk meringkuk dalam gelap lindungan patung.

"Ah! Sialan!" Satu umpat seraya mengayunkan benda yang dia genggam ke arah patung.

Sabetan nyaris mengenai wajah Gendis yang ada di baliknya, jelas terasa angin menderu bak tiupan kematian, melintas di telinganya, terlebih benda bermata tajam bergerak dan berhenti mengenai patung.

𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang