Kembali ke dalam ruangan yang penuh darah
"Mala sungguh tak tahu apa yang terjadi setelahnya, Pakde. Hingga Mala membuka mata dan sudah berada di sebuah ruangan pusat pelayanan kesehatan. Mala hanya ingin pulang waktu itu, dan mencari Pakde untuk menceritakannya."
"Bahkan Mala butuh beberapa hari untuk mengingat semuanya, saat salah satu perawat akhirnya mengatakan kalau benturan sisi aspal penyebabnya."
"Iya, iya. Sudah ... sudah. Semua sudah terjadi." Erat Suratman mendekap kembali Mala.
"Mereka telah membunuh bocah-bocah itu. Mereka juga telah membunuh Gendis, Dar ...." Mala kembali tak sanggup membendung air matanya.
"Patung-patung itu sekaligus menjadi peti mati tanpa terkubur. Mereka menyembunyikan jasad-jasad pembantaian untuk menghilangkan bukti kekejaman mereka, Pakde."
Suratman tak bisa berkata apa-apa kini, memilih membiarkan Mala menumpahkan semua rasa yang mengungkung segenap perasaannya.
"Kita harus segera melaporkan ini kepada polisi, Pakde." Mala mengangkat wajahnya, menyeka nestapa yang turut mengalir dari sudut kedua mata.
Suratman hanya berdiri tak menjawab, menatap lekat Mala, tampak pula ada yang mengalir turun dari sudut mata yang dipenuhi kerut usia itu.
"Untuk apa? Semua sudah terjadi."
"Pakde, bilang untuk apa? Biarkan polisi yang mengusut tuntas semua kebiadaban mereka."
Suratman menggeleng, "Tidak ada gunanya."
Mala makin tersedu, jelas Suratman terlihat terpukul dengan pemandangan yang ada di dalam ruangan.
"Ini tidak bisa dibiarkan, Pakde. Polisi mungkin masih punya cara untuk membersihkan siapa saja yang terlibat."
Kembali Suratman hanya menggeleng.
"Pakde, atas nama Gendis, Puan, dan Mas Daryono, kita harus melaporkan ini."
"Memang tidak mungkin untuk membawa Gendis dan Mas Daryono kembali ke pelukanmu, Pakde. Paling tidak ini yang bisa kita perbuat sekarang."
Tiba-tiba pintu tertutup dengan sendirinya.
Gerdek.
Gerdek.
Sontak Mala tercekat dan berlari untuk menahannya, mustahil pintu tertutup dengan sendirinya bila tak ada yang mencoba menutupnya dari sisi gelap pada bagian luar.
"Pakde!"
Mala terus berusaha untuk terus menahan laju pintu. Sayang sekali, tenaganya kalah kuat.
Drak!
Glek!
Pintu tertutup rapat, jelas terdengar suara pengganjal untuk mencoba menguncinya dari luar.
"Pakde!" teriak Mala untuk menyadarkan Suratman dari larut kesedihan.
Dok!
Dok!
Dok!
"Buka!"
"Buka pintunya!" Mala terus mencoba untuk memukul-pukul dan berteriak iba untuk membuka pintu bagi seseorang yang mungkin saja berdiri di luar dan berjarak setipis pintu di hadapannya.
"Buka!"
"Tolong kami! Buka!"
Mala berbalik, wajahnya makin pucat begitu mendapati Suratman hanya berdiri tak bergeming dengan menundukkan kepala.
"Pakde, tolong Mala! Kita harus segera keluar dari tempat ini!"
Suratman tak menanggapinya.
Cepat Mala melangkah ke arah Suratman. "Aku yakin ada seseorang di luar sana yang mengurung kita di sini, Pakde!"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛
HorrorDengan diantar Pak Serabi, mereka pergi ke Banjarsari, setelah Daryono berkeinginan untuk terus menjaga suluh keluarga agar tak padam. Bukan tanpa sebab, mengingat bapaknya hanya dua bersaudara dan tujuannya ke Banjarsari tak lebih untuk mencari keb...