Dak!
Dok!
Dak!
Dok!
Satu golok rimbas terus mengikis gelondongan kayu jati, nyaris terbentuk seperti badan manusia.
Pakde Saring terus mengayunkan golok. Tampak di sisi atas sebelah kanan berbagai ukuran pahat. Mulai dari pengukuh, penyilat, pengot, juga beberapa gandin dengan berbagai ukuran, juga cermin dalam bingkai ukir pahat.
"Eh. Kamu, Le?"
"Pakde, buat sendiri patung-patung ini?" Daryono terkesima dengan berbagai patung yang nyaris memenuhi ruangan ini.
"Begitulah, Le. Pakde habiskan waktu di rumah ini dengan membuat patung." Pakde Saring mengelap peluh di dahi, lalu mengajak Daryono untuk duduk di bangku yang telah tersedia.
"Terlalu sulit, Pakde?"
"Ya. Memang butuh ketelatenan untuk membuat satu karya. Terlebih patung, perlu sentuhan tersendiri untuk setiap bentuk yang kita inginkan."
Daryono melempar pandang ke kanan, bukan hanya patung manusia tampak pula bentuk yang dia anggap aneh."
"Itu patung apa, Pakde?"
"Itu patung sonde."
"Kamu bahkan bisa membuatnya, itu kalau kamu mau, Le."
"Daryono tidaklah berbakat dalam memahat apalagi sampai menghasilkan patung-patung sebanyak ini, Pakde."
"Kata siapa? Semua harus dimulai dengan percobaan, tetapi itu kalau tak suka. Tidak akan menjadi satu karya bila tak tumbuh rasa suka dalam membuatnya, adalah modal penting dalam berkarya."
"Semua kayu bisa dijadikan bahan patung, Pakde?"
"Tidak semua, tetapi hampir semua kayu keras bisa diolah," jawab Pakde Saring. Senyumnya mengembang menampilkan deret gigi dengan bibir dihias kumis kasar nan tebal.
"Karya adalah sesuatu yang terlihat, Le, dan Pakde yakin kamu pasti mempunyai satu kelebihan."
"Tidak ada, Pakde. Hanya bongkar pasang diode saja." Daryono mencoba membalas senyum Pakde Saring, terlihat canggung bila melihat sederet karya yang berjajar.
"Itu juga karya toh?"
"Iya, Pakde."
"Daryono, Daryono. Kenapa kamu terlihat lemah seperti ini. Jadi lelaki itu yang semangat. Terkadang kita harus memukul keras dengan segenap tenaga yang ada untuk semua rasa yang membuatmu minder."
"Daryono bukan siapa-siapa bila dibanding dengan Pakde."
"Jangan seperti itu. Pakde hanya mengisi hari dengan menyibukkan diri memahat." Pakde Saring beranjak, memandang deret patung perempuan yang semuanya dia buat telanjang, dengan tangan yang terlihat menutupi sebagian aurat.
"Semua Pakde curahkan dengan membuatnya, menjadikan patung-patung ini bagian dari keluarga. Pakde membuatnya layaknya membuat anak sendiri. Kamu tahu kenapa?"
Daryono menggeleng, dia tak berani menatap mata Pakde Saring yang terlihat tajam.
"Itu karena Pakde dan Mbokde memang kurang beruntung. Kami berdua tak memiliki anak."
"Kenapa tak mengangkat anak saja, Pakde? Maaf kalau Daryono lancang menanyakan itu."
"Awalnya demikian, tetapi Pakde sudah telanjur jatuh hati dengan patung-patung ini. Jiwa Pakde tergugah, bahagia datang meski secercah. Pakde sudah jatuh hati dengan semua yang Pakde lakukan selama ini."
"Adik-adikmu sudah makan, Le?" Mbokde Renjong datang dengan satu baskom belirik yang dia bawa pada sisi pinggang dengan ditutup daun pisang.
"Sudah, Mbokde."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛
HorrorDengan diantar Pak Serabi, mereka pergi ke Banjarsari, setelah Daryono berkeinginan untuk terus menjaga suluh keluarga agar tak padam. Bukan tanpa sebab, mengingat bapaknya hanya dua bersaudara dan tujuannya ke Banjarsari tak lebih untuk mencari keb...