Kembali kepada Puan.
"Siapa kalian!" Puan dikejutkan dengan enam anak yang berdiri menatapnya dalam terang api yang berkobar.
Semua diam, menambah rasa makin terheran-heran akan mendadak hadirnya mereka.
"Ayo ikut kami main," kata salah satu bocah perempuan.
"Main? Mak ... maksud kalian apa."
"Main delikan bersama kami."
"Tidak! Kalian pasti bukan manusia. Mana ada bocah malam-malam begini di dalam hutan, ha." Dia bergegas untuk memilih berlari meninggalkan tempat itu, tetapi langkahnya tertahan saat bocah perempuan berambut panjang dengan dikepang dua sudah memegang tangannya, bahkan terjadi begitu cepat dari duga, mengingat jarak mereka dengan dirinya enam langkah terhitung.
Ada pengharapan dari mata bulat yang mengerjap dari bocah perempuan yang mendongak menatap Puan.
"Aku ingin kembali pulang. Jangan tahan aku."
Bocah perempuan menggeleng, lalu menoleh ke belakang di mana lima bocah lainnya masih berdiri menunggu.
Bocah perempuan itu mengangguk.
"Maksudmu?" Bertanya, sungguh tak mengerti maksudnya.
"Bila kamu menang, kamu bisa pulang."
Dia berkernyit. Dia tak bisa berucap dengan otak yang terus dipaksa berpikir oleh ucapan bocah perempuan yang kini melepas tangan dari lengannya.
"Aku tak mau terus terjebak di hutan sialan ini. Aku mau pulang."
Bocah itu mengangguk, bahkan diikuti lima bocah yang berdiri menatapnya.
Semua terdiam.
Lengang berbicara dengan suara api yang terus berkobar.
"Baik. Bila aku menang, aku bisa pulang."
"Kamu yang jaga. Temukan kami." Masih, terdengar dingin dan kaku.
Dia yang mengangguk kini, mengiyakan permainan yang dimulai dengan bocah itu memintanya untuk menutup mata.
"Tunggu! Apakah ini ...."
Keenam bocah yang tadi berdiri sudah berbaris di belakangnya, sungguh ia dibuat kaget.
"Bagaimana bisa kalian sudah di belakangku, ha."
Semua diam, seakan menunggu baginya memberi aba-aba untuk segera memulainya.
"Baik, baik. Aku akan mulai berhitung," katanya, seakan sudah paham permainan yang dimaksud.
"Satu."
"Dua."
"Tiga!" ucapnya dengan masih menutup mata menggunakan kedua telapak tangan.
"Empat."
"Lima."
"Enam."
"Permainan bodoh macam apa ini," rutuk hatinya.
"Tujuh!"
"Jangan sampai aku menemukan kalian!"
"Delapan."
"Sembilan."
"Sepuluh!"
Dia membuka mata. Dia tak tahu harus mulai mencari di bagian mana dari hutan ini, bahkan semua sudah terlihat gelap saat kobar api yang menjadikan terang sekitar mendadak padam.
Dia terus melangkah mencari setiap gerakan, mencari bayangan berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya.
Tak juga terlihat satu tanda bahwa dia akan menemukan bocah pertama, tetapi anggapan itu hanya sebentar saat dia melihat satu bayangan berkelebat. Tak mau menunggu lebih lama lagi di hutan ini, dia segera mengejarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛
HorrorDengan diantar Pak Serabi, mereka pergi ke Banjarsari, setelah Daryono berkeinginan untuk terus menjaga suluh keluarga agar tak padam. Bukan tanpa sebab, mengingat bapaknya hanya dua bersaudara dan tujuannya ke Banjarsari tak lebih untuk mencari keb...