"... Begitulah ceritanya. Aku sendiri terbawa ke dalam hutan hingga tersadar saat semua kembali terang dan telah di dalam kebun jagung." Awal Daryono menceritakannya kepada Pakde Saring dengan tangan terus dipegang oleh Mbokde Renjong.
"Apakah kamu melihat sosok menyeramkan, Le?" tanya Pakde Saring penasaran.
"Tidak. Hanya bocah kecil yang ingin menyampaikan pesan sepertinya, tetapi aku tak mendengar. Itu hanya dugaanku saja, Pakde, Mbokde."
"Hingga akhirnya kami berkumpul kembali di kebun jagung tanpa Mala," imbuh Gendis, mencuat kembali kesedihan itu bila menyebut nama Mala.
"Bahkan Mbah Kus benar-benar tidak ada. Kampung itu berubah kembali menjadi kebun jagung. Andai aku tak menoleh, mungkin kami tak bertemu dengan kerumunan bocah-bocah yang menyaksikan penari di tengah jalan." Giliran Puan bercerita.
"Tidak ada bocah di sana. Hanya para lelaki yang berdiri mematung," bantah Daryono.
"Bocah, Mas. Aku lihat sendiri kok," sanggah Gendis.
"Itu karena kamu melanggar pesan Mbah Kus."
"Andai tidak, mungkin tak perlu susah payah kita untuk mencapai gapura dengan menyeret tubuh Puan yang ujung betisnya sebesar pahaku," imbuh Daryono.
"Sudah, sudah toh. Kenapa kalian yang malah berdebat," lerai Mbokde Renjong.
"Kami bahkan sampai ke Watubuncul, Pakde."
"Watubuncul?" Pakde Saring sedikit membawa wajah untuk maju, seakan tak ingin salah dengar apa yang diucapkan Puan.
"Benar kalian sampai ke Watubuncul, Nduk?" Pun Mbokde Renjong, menoleh ke arah Puan, terhalang oleh Gendis yang duduk di sebelahnya.
"Apakah itu artinya kalian disesatkan oleh arwah-arwah gentayangan dari korban pembantaian itu."
"Pembantaian? Kami bahkan hanya mendapati anak kecil," potong Daryono.
"Pakde tak mau menduga, tetapi bila kalian benar tersesat sampai ke Watubuncul, mungkin ini ada kaitannya dengan peristiwa itu."
"Bagaimana Banjarsari gempar kala itu oleh amuk lelaki yang bernama Wirdjo. Korban pertama yang dia tebas lehernya menggunakan jombret bahkan meminum darah korbannya sendiri."
"Jombret?"
Pakde Saring mengangguk. "Senjata tajam yang sebelumnya sudah dibungkus kain dan dibebat ke tangannya, mustahil senjata itu akan terlepas."
"Tunggu, tunggu. Bukankah nama ini pernah disebut oleh lelaki yang berpapasan dengan kita. Pencari rumput itu? Iya, 'kan?" Gendis membungkam mulut semua yang ada, membawa Puan serta Daryono untuk makin dekat ingatan akan bertemunya pencari rumput.
"Iya. Aku ingat dia mengatakan kalau persawahan dan kebun jagung itu dulunya adalah tempat di mana pembantaian itu terjadi. Mungkin itu yang dimaksud Pakde." Puan mengiyakan.
"Apakah ini ada kaitannya dengan kami, Pakde?" tanya Daryono.
"Entah. Sejak saat itu Banjarsari berubah seperti desa mati, tak ada satu orang pun yang berani keluar rumah."
"Siapa sebenarnya Wirdjo itu, Pakde?"
"Wirdjo merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara, istrinya bernama Idarah."
"Mereka tidak dikaruniai anak."
"Wirdjo ini adalah sosok yang mudah sekali marah dan juga mudah tersinggung."
"Selain mudah marah, juga ada perilaku yang tidak wajar yang tidak seperti orang pada umumnya."
"Dulu, pernah suatu ketika Wirdjo menanak nasi sebanyak lima kilo kemudian nasi tersebut digoreng untuk dijadikan nasi goreng dengan sebotol minyak, setelahnya Wirdjo memakannya sendiri sampai habis dan tidak bisa berdiri karena kekenyangan. Dia bahkan gemar menyantap dedeh."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛
HorrorDengan diantar Pak Serabi, mereka pergi ke Banjarsari, setelah Daryono berkeinginan untuk terus menjaga suluh keluarga agar tak padam. Bukan tanpa sebab, mengingat bapaknya hanya dua bersaudara dan tujuannya ke Banjarsari tak lebih untuk mencari keb...