"Terima kasih," kata Pakde Saring, seraya menerima beberapa lembar uang dari lelaki yang berdiri di samping mobil tanpa kap. Lima patung berwarna merah tampak memenuhi bagian belakang.
"Aku heran dengan Sampean, sangat mahir membuat patung yang begitu laku di pasaran. He he he."
"Ah, itu hanya buatanku yang tak seberapa, dan aku hanya beruntung, sebab semua patung yang aku cat merah selalu tinggi peminatnya," ujar Pakde Saring merendah.
"Jangan lupa, ini. Sekalian aku panjar untuk tiga patung yang berwarna merah. Untuk yang akan aku bawa ini semua adalah pesanan para pelangganku, dan tentu aku akan memajang barang baru. Patung merah setelah Sampean, mengerjakan apa yang aku pesan, tiga patung merah. He he he."
"Jangan khawatir, itu mudah bagiku. Di belakang masih banyak patung-patung lainnya, hanya tinggal butuh sedikit sapuan kuas serta cat dasar." Pakde Saring memasukkan lembaran uang ke saku.
"Ya, sudah. Aku langsung berangkat, dan jangan lupa, empat atau lima hari lagi orang suruhan akan datang untuk mengambil patung yang sudah aku panjar."
"Ha ha ha, tentu saja." Pakde Saring tertawa renyah, wujud rasa bahagia atas lembaran uang yang dia terima.
"Kalau boleh tahu, apa rahasianya hingga patung berwarna merah begitu laku?"
"Tidak ada rahasia khusus, hanya pada sentuhan akhir saja. Ampelas halus makin membuat cat terlihat mengkilap, tidak lebih."
"Ha ha ha. Sampean, memang orang dengan jiwa seni tinggi, Kang," puji lelaki gendut dengan berewok menyatukan kedua jambang.
"Saya pamit, Kang." Lelaki tersebut menuju pintu samping.
"Hati-hati. Sampai Watubuncul jalannya sedikit licin!"
Dari kaca spion, lelaki itu tersenyum seraya mengangguk.
Tin!
Klakson berbunyi seiring roda mulai melaju meninggalkan sisi jalan yang menyatu dengan ujung halaman rumah Pakde Saring.
Daryono segera menarik wajah saat Pakde Saring terlihat sepintas menoleh ke arahnya.
Obrolan tadi membuatnya terbangun dari tidur, tampak Pakde Saring berdiri melambaikan tangan ke arah mobil yang mulai hilang di ujung jalan berbelok.
"Beruntung sekali, Mak. Memang rezeki tak akan lari dikejar. He he he," kekehnya seraya tersenyum semringah kepada Mbokde Renjong yang sedari tadi hanya berdiri di sampingnya.
"Dari mana mereka?" batin Daryono dari sisi jendela dengan terus mengamati Pakde Saring yang mulai berjalan diikuti Mbokde Renjong menuju rumah.
"Aku harus menghubunginya, menyampaikan kabar baik ini. Kamu dengar, 'kan apa katanya? Dia akan kembali dengan orang suruhan untuk mengambil patung-patung itu. Ha ha ha."
"Apa tidak terlalu terburu-buru, Pak?"
"Apanya yang terburu-buru? Aku hanya butuh cat, dan semua akan beres. Ha ha ha."
"Aku takut kalau semua akan ...."
"Apa yang kamu takutkan. Aku hanya membuatnya, untuk urusan mengecat, biar dia yang menyelesaikan. Iya, toh?"
Mbokde Renjong tak lagi menimpali, dia memilih masuk meninggalkan Pakde Saring yang berdiri di samping dua Loro Blonyo.
Daryono segera naik ke atas tempat tidur saat langkah Mbokde Renjong mulai mendekat pintu.
Krek.
"Tumben kamu belum bangun, Le?" ucap Mbokde Renjong lirih, lalu memilih untuk kembali menutup pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛
HorrorDengan diantar Pak Serabi, mereka pergi ke Banjarsari, setelah Daryono berkeinginan untuk terus menjaga suluh keluarga agar tak padam. Bukan tanpa sebab, mengingat bapaknya hanya dua bersaudara dan tujuannya ke Banjarsari tak lebih untuk mencari keb...