Kelontang!
Kelontang!
"Hu hu hu."
"Hu hu hu."
Lengang sejenak, menyisakan sedu isak tertahan saat Pakde Saring jatuh dengan bertumpu kedua lutut, diawali rimbas yang membentur lantai menghasilkan suara kelontang.
"Akh!"
Berteriak dengan meremas rambut yang biasa tertutup udeng.
"Akh!" Rasa kecewa yang tak terbendung, berganti sesal menggulung saat di hadapannya satu kepala yang bersimbah darah, kepala Mbokde Renjong yang dia penggal baru saja.
"Akh!"
"Hu hu hu."
Tergugu dalam deras isak. Suara tangis Pakde Saring bak gending damai bagi empat mayat yang ada di ruangan ini.
Sekali lagi Pakde Saring menyeka sudut mata. Darah yang ada di dalam wadah sudah terlihat mengental kehitaman, lantai nyaris berwarna merah dengan dua kepala terpisah.
"Maafkan aku, Mak." Kembali menyeka sudut mata.
"Kenapa harus berakhir seperti ini, ha? Kenapa! Kenapa!"
"Hu hu hu."
Pakde Saring menoleh, ditatapnya Gendis yang tergantung dengan tangan terikat ke belakang, bahkan begitu terlihat tenang, tak jua tampak dadanya naik turun.
Kembali beralih ke sebilah rimbas yang dia gunakan.
"Semua ini karenamu! Semua karena kamu!" Pakde Saring beranjak, nanar menatap Gendis yang tergantung.
"Semua karena kamu! Kematian istriku karena ulahmu!"
Pakde Saring bergegas meraih rimbas yang sudah berlumur darah, membawanya kemudian untuk lebih dekat dengan Gendis.
Wet!
Deru ayun rimbas membelah hening malam.
****
Di tempat lain kini.
"Mas!"
"Mas Daryono!" teriak Gendis yang sudah mengenakan baju terusan panjang menyentuh tanah yang ditumbuhi rerumputan.
Daryono yang berjalan bergandeng tangan dengan Puan sejenak menghentikan langkah.
"Gendis?"
Berbarengan dengan Puan, Daryono membalikkan badan ke belakang.
"Mas!"
"Puan!"
Gendis hanya terpaku dengan jarak beberapa langkah dari Daryono dan Puan yang tersenyum menyambut kedatangannya.
Puan melambai.
Dibalas senyum oleh Gendis, lalu selangkah demi selangkah mencoba mendekat. Entah dari mana datangnya, sekumpulan bocah kecil juga mengenakan baju sama putih muncul dari belakang Daryono dan Puan.
Gendis sejenak mengerutkan dahi, "Aku ada di mana?" batinnya.
Sejenak dia melempar pandang ke segala arah, asap bak kabut tipis yang tadi tak terlihat menghadang laju pandang, samar.
Setengah tersentak Gendis, saat Daryono dan Puan hadir mendadak di hadapannya dengan senyum mengembang.
"Kita ada di mana, Mas?"
"Kita akan pulang," jawab Daryono, wajahnya terlihat lebih putih, bahkan itu jelas pias bagai tak berdarah.
"Pulang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛
HorrorDengan diantar Pak Serabi, mereka pergi ke Banjarsari, setelah Daryono berkeinginan untuk terus menjaga suluh keluarga agar tak padam. Bukan tanpa sebab, mengingat bapaknya hanya dua bersaudara dan tujuannya ke Banjarsari tak lebih untuk mencari keb...