"Waktu itu aku masih SD, dan kali ini aku kembali menceritakan apa yang pernah bapak alami, pembantaian itu." Suara dari dalam kotak hitam.
"Em ... maaf. Apakah saat kamu menuturkan cerita ini sudah memenuhi apa yang kami minta?" Terdengar tanya suara lelaki.
"Sudah. Segelas air putih, 'kan? Bahkan cermin di kamarku sudah aku tutup dengan kain hitam, setengah jam sebelum acara ini dimulai."
"Tarik napas dalam-dalam lalu ceritakan apa yang kamu alami." Suara lelaki itu seperti memandu orang yang akan bercerita dalam acara yang biasa diadakan tengah malam. Teror Malam, pada stasiun radio FM, rutin setiap malam Jumat.
"Bapak pernah menceritakan ini kepadaku, bahkan melarangku setelahnya."
"Permainan ini sebenarnya hanya hiburan anak-anak kampung yang dimainkan dalam suka-cita ketika purnama tiba." Perempuan dari dalam radio mulai bertutur cerita.
"Tak tahu dari mana awalnya. Siapa orang yang mengawali berkata seperti itu, hingga permainan ini dilarang."
"Bapak pernah memainkannya, tetapi itu bukan bermandikan cahaya purnama, karena permainan ini sudah lumrah dimainkan. Bahkan tak harus menunggu tanggal lima belas dalam kalender Jawa."
"Sampai sebesar ini. Aku sependapat, kalau itu hanya sebuah permainan saja, meski aku tak berani melanggar apa yang bapak larang."
"Terlebih saat petang, atau menjelang beduk zuhur, dua waktu yang dilarang oleh bapak."
"Kisah ini dimulai saat bapak ikut ibunya, mendiang simbah."
"Waktu itu ada kegiatan seribu hari. Bapak masih berumur lima tahun. Sehari penuh dia akan bermain dengan anak-anak yang ikut ibunya untuk rewang, membantu masak sang pemilik hajat."
"Sore itu, dia dan dua sahabatnya memainkan permainan ini. Mungkin ini alasannya, mengapa bapak melarang permainan ini dimainkan kala surup."
"Acara seribu hari yang rencana akan digelar sesudah bakda isya, batal. Orang-orang sekiranya duduk bersila menghadap ingkung, pindah berjalan keliling kampung, menyasak hutan."
"Mas, kecilkan suaranya." Suara Gendis, dari kamar sebelah. Lelaki di depan radio FM rakitan itu hanya menoleh.
"Bapak yang ikut mencari dua temannya, lalu menjelaskan apa yang terjadi, setelah beberapa bapak-bapak mendesak untuk mengatakan di mana terakhir dua temannya hilang." Sambung suara dari dalam radio.
"Bapak mengatakan tak jauh dari rumah yang akan menggelar kegiatan itu."
"Setelah dicecar berbagai pertanyaan, akhirnya bapak menceritakan awal mula kedua temannya yang hingga kini tak pernah kembali."
"Mereka bertiga memainkan permainan delikan. Kami menyebutnya begitu, atau mungkin anak-anak sekarang menyebutnya petak umpet."
"Setelah kalah dalam undian jaga. Bapak bertugas berjaga, memberi kesempatan bagi dua temannya untuk bersembunyi. Hanya dibatasi sampai hitungan ke sepuluh, sebelum bapak akhirnya akan mencari mereka."
"Belum sempat bapak melangkah untuk mencari. Dia berteriak, saat di hadapannya berdiri seorang perempuan yang dia kira adalah ibunya, sebab sempat dia mendengar ibunya memanggilnya, mengajak pulang, karena hari sudah surup."
"Bapak sempat panas dan kejang-kejang selama dua hari, dan itu anehnya menjelang surup."
"Tak ada yang tahu seperti apa wajah perempuan itu, hingga akhirnya bapak menceritakan. Dia seorang perempuan berkebaya merah, sama merahnya dengan darah yang mengalir dari leher yang koyak."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛
HorrorDengan diantar Pak Serabi, mereka pergi ke Banjarsari, setelah Daryono berkeinginan untuk terus menjaga suluh keluarga agar tak padam. Bukan tanpa sebab, mengingat bapaknya hanya dua bersaudara dan tujuannya ke Banjarsari tak lebih untuk mencari keb...