"Ndis!"
"Gendis!"
"Ke mana dia, Mas. Gendis! Gendis!" teriak Puan.
Sisa pembakaran yang terus mengepulkan asap tipis keputihan terasa menyesakkan dada.
"Terus untuk tetap bersama, Puan. Jangan-jauh-jauh!" Daryono mencoba mempercepat langkah untuk mengimbangi Puan.
****
Sementara itu di dalam tenda.
"Aku sedang mencari sahabatku," lanjut Gendis.
"Kami tak mungkin kembali dan meninggalkannya di kampung ini."
"Sulit, sulit! Orang yang sudah hilang di kampung ini sulit untuk ditemukan." Terdengar satu penghabisan asa.
"Kalau hanya hantu surup saja yang menyembunyikan anak-anak akan mudah ditemukan, itu tak berlangsung lama, dan sudah pasti akan dikembalikan."
"Untuk seorang sepantar usiamu, aku ragu ...."
"Itulah kenyataannya, Paman. Aku bahkan berpikiran kalau sahabatku tak mungkin disembunyikan makhluk halus untuk jangka waktu lama." Gendis menghembuskan napas berat.
"Dulu, ada satu perempuan Banjarsari yang bekerja di rumah Saring. Konon, dia tak pernah sampai di rumahnya. Setiap ahad dia akan pulang ke Watubuncul, lalu kembali lagi esok paginya."
"Banjarsari tak pernah lagi geger sejak pembantaian mengerikan itu, hingga kampung kembali gaduh dengan desas-desus hilangnya Lestari."
"Lestari?"
"Iya, Lestari namanya. Penari jejer seblang. Sampai kini tak pernah ditemukan jasadnya, pun dengan kabarnya, bahkan kedua orang tuanya sudah mendatangi Mbah Kus, orang pintar di kampung ini."
"Penari?"
"Mbah Kus?"
Semua menyisakan tanya saat lelaki itu tak mengangguk mengiyakan pertanyaan Gendis.
"Ah, entah apa yang terjadi. Sejak saat itu banyak anak-anak yang kemudian hilang, termasuk cucuku, Mujari. Aku berharap akan datang seseorang yang bisa menemukannya, menemukan mereka semua."
"Ha!" Gendis tak percaya mendengarnya.
"Banjarsari sudah tak lagi aman. Kepala Desa Banjarsari pernah mengadukan masalah ini. Banyak polisi turun, menyelidiki kasus hilangnya anak-anak Banjarsari, tetapi itu sia-sia, bahkan satu pun tak pernah mereka temukan."
"Ayo, pulang. Tentu kamu sudah mengantuk," ucap lelaki itu menoleh ke arah anak di sampingnya. Masih, bahkan sejak awal Gendis masuk, bocah itu bagai tak henti menatapnya.
Kali ini Gendis bergidik mendapati tatap yang terasa dingin, terasa hampa dengan sorot mata kosong.
"Aku pamit. Cucuku sepertinya ingin mengajak pulang." Dia berkata seakan-akan dia yang ingin pulang, sepatah kata pun Gendis tak pernah mendengar bocah itu berkata.
"Eh ... eh. Baiklah." Itu terucap dengan suara gugup, seakan terdengar mendadak bagi Gendis yang masih berharap cerita panjang dari hilangnya anak-anak Banjarsari.
"Kok masih utuh? Tidak dimakan?" Kang Odang duduk di bangku panjang yang ada di depan Gendis. Lampu petromaks dengan kaus gantung hampir berwarna merah, sudah tak lagi mau mengeluarkan sinar terang.
"Tidak enak?"
Gendis bagai tersadar saat Kang Odang menanyakan itu. Pikirannya masih terbawa jauh dari cerita lelaki yang duduk di sebelahnya tadi, bahkan secepat itu lelaki tadi menghilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛
HorrorDengan diantar Pak Serabi, mereka pergi ke Banjarsari, setelah Daryono berkeinginan untuk terus menjaga suluh keluarga agar tak padam. Bukan tanpa sebab, mengingat bapaknya hanya dua bersaudara dan tujuannya ke Banjarsari tak lebih untuk mencari keb...