BANJARSARI MASIH MENCEKAM

134 17 29
                                    

Satu purnama berikutnya.

"Baru buka, Din?"

"Iya, Kang? Coba-coba buka usaha lain," jawab Faidin, lelaki muda tampak menggantung petromaks.

"Baksomu terkenal enak. Pantas saja selalu laris." Lelaki itu duduk di bangku panjang yang menghadap meja.

"Biasa saja, Kang."

"Bagaimana kabar tentang hilangnya Kang Saring? Aku heran, kenapa satu keluarga itu bisa dinyatakan hilang begitu saja."

"Wah, kalau itu saya sendiri kurang paham," jawab Faidin.

"Kamu, 'kan pernah dekat juga dengan Maksum. Apa iya kamu benar-benar tak tahu keberadaan Maksum sampai saat ini, Din?"

Faidin menggeleng bungkam.

"Aku tak menyangka, satu-satunya pengrajin patung di Banjarsari bisa hilang tanpa jejak."

"Maaf, Kang. Untuk masalah itu saya kurang tahu persis kejadiannya." Faidin bergegas menuju belakang rak kayu.

"Aneh. Bahkan sekarang ada satu lelaki yang meneruskan usaha Kang saring. Oh, iya, Din. Kamu tahu siapa lelaki yang sekarang tinggal di rumah Kang Saring?"

"Tidak tahu, Kang." Faidin menunduk dengan sepintas melirik, ada yang dia sembunyikan.

Malam merayap mempersembahkan misteri. Mungkin saja sebagian sisi bisa disibak, bahkan terlalu luas untuk penduduk menguak beberapa sisi yang masih tersembunyi.

Denting sendok yang menyentuh mangkuk ramai mengisi riuh pembeli yang datang di pertigaan jalan. Faidin, meneruskan usaha Odang, setelah seseorang datang untuk menyerahkan pentol liat dari daging pilihan kepadanya, terbungkus daun pisang dengan wadah baskom belirik.

****

Di tempat lain.

Dung!

Bruk!

Dung!

Tung!

Bruk!

Deng!

Deng!

"Bagaimana dengan anakku, Kang?" Wajah gusar dalam pendar obor.

Yang ditanya mendongak, memandang rembulan di atasnya, tegas lurus di ubun-ubun.

"Malam makin larut, Kang! Apa sebaiknya kita mencari ke tempat lain saja!" serunya,  lelaki berkalung sarung, memegang obor pula.

"Aku heran. Kenapa Banjarsari tak akan pernah putus cerita dengan anak-anak hilang disembunyikan oleh hantu surup." Dijawab gerutu.

"Apa kita cari ke pekuburan saja, Kang!"

"Bagaimana ini, Kang?"

"Baiklah. Kita sisir semua tempat yang ada hutan. Wewe Gombel akan selalu menyembunyikan anak-anak di dalam hutan." Akhirnya satu keputusan didapat.

"Ayo! Kita cari di sekitar kuburan!"

"Ayo!"

"Ayo!"

Semua berjumlah enam orang. Peralatan dapur masih menyertai pencarian mereka untuk kembali menemukan satu anak yang hilang.

Dung!

Bruk!

Dung!

Tung!

Bruk!

Deng!

Deng!

****

"Jir, Ajir!"

"Ajir!"

Dung!

Tung!

Deng!

Deng!

"Ajir!"

"Ajir!"

Mereka terus meneriakkan nama, seiring gemuruh suara peralatan dapur yang mereka tabuh.

"Kenapa aku merinding, ya," katanya, satu pemuda.

"Itu karena kita sekarang ada di kuburan."

"Tidak. Aku bahkan sering ikut mencari saat ada kabar anak hilang, tetapi tidak seperti malam ini. Hi ...."

Percakapan itu terjadi saat empat orang lainnya berpencar seraya terus menyebut nama.

"Kamu tahu, ini malam apa?"

"Malam Jumat, memangnya kenapa?" Lelaki yang ada di sebelahnya balik bertanya.

"Sungguh, aku merasa merinding sekali." Lelaki yang terus mengeluhkan keadaannya menoleh ke samping.

"Apa sebaiknya kita pulang saja, ya?"

"Pulang? Kamu sudah edan! Mana mungkin meninggalkan mereka. Apa kamu tak melihat wajah Kang Jamari. Aku ikut kasihan, aku bahkan tak membayangkan bagaimana bila itu menimpa diriku."

"Iya, tetapi sungguh aku merasa lain malam ini."

"Buang perasaanmu. Takut akan datang, itu bila kamu terus memikirkan hal yang tidak-tidak."

"Tetapi sungguh, aku makin merinding saja."

Sayup di kejauhan empat orang lainnya terus berteriak dalam kegelapan, pendar obor tak lagi terlihat.

"Bahauddin?" Sayup lirih suara terdengar.

"Kang, ada yang memanggil namaku. Hi ...."

"Bahauddin."

"Kang!"

Segera dia menoleh sebahatnya yang berdiri di samping.

"A ... a ... a ...."

"Kang!"

Lelaki itu sudah tak lagi berdiri di sampingnya.

Jelas dalam siram obor, tampak tiga perempuan sudah berdiri di sampingnya, tepat di bawah kemboja. Mata itu membelalak dalam bungkus wajah pucat. Tampak dari pakaian yang dikenakan berwarna merah, darah terus mengalir dari leher.

Blub!

Obor mendadak padam.

"Akh!"

****

Dalam waktu yang sama.

Tak ada satu sinar pun di rumah ini, satu-satunya sinar berasal dari kotak hitam yang terus memperdengarkan lelaki yang terus memandu penelepon bercerita, menuturkan kisah seram yang dialami.

"Apakah kamu sedang menghadap benda yang bisa memantulkan bayanganmu?" tanya penyiar yang terus bertanya saat penelepon tak lagi melanjutkan tutur ceritanya.

Tak ada jawaban.

"Halo?"

Hanya suara desis frekuensi radio.

"Kamu masih di dalam kamarmu?"

"Iya." Akhirnya suara perempuan yang sudah setengah jalan bercerita terdengar.

"Bisa kita lanjutkan, atau kamu mau menyudahi ini?"

"Tidak. Aku ... aku melihat satu perempuan berdiri di jendela. Aku ... aku ...."

"Halo?"

Kembali desis berisik terdengar.

"Dia menatapku. Wajahnya begitu pucat. Dia ... dia ... dia seorang perempuan. Dia ... akh!"

"Dia datang! Dia datang! Tolong! Tolong ... akh!"

Tak ada lagi suara terdengar dari kotak radio, seiring lampu yang tergantung nyala padam.

Teretet!

Pet!

Teretet!

Tampak satu sosok hitam, berdiri mematung menghadap dinding pipil.

Teretet!

Pet!

Teretet!

Pet!


SELESAI.

𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang