"Aku sendiri kurang mengerti apa yang terjadi sebenarnya."
"Semua berubah mengerikan, semua dimulai saat ada tujuh anak yang hilang sekaligus. Itu sudah lama sekali, dan siangnya mereka hanya menemukan jejak dari beberapa batang jagung yang patah."
"Kebun jagung?" kejar Gendis penasaran.
"Iya. Semua menduga telah terjadi sesuatu di dalam kebun jagung malam itu, tetapi hingga kini semua hanya menjadi cerita yang diperuntukkan bagi orang tua agar anak-anak mereka tak lagi bermain di luar, apalagi malam hari."
"Apakah ada sesuatu yang mencurigakan yang bisa memperkuat dugaan kalau mereka tak kembali karena ulah seseorang?" Sungguh, Gendis menanyakan itu bukan tanpa sebab, beberapa keanehan sempat dia alami, bahkan semua berawal dari kebun jagung.
"Tetap, mereka menduga arwah-arwah pembantaian adalah penyebabnya."
"Kok sepertinya kurang bisa diterima, bila lagi-lagi hanya karena pembantaian ...."
"Aku mau pulang, itu jika kamu sudah tak lagi menyentuh pentol yang sudah dingin."
"Tunggu. Kenapa semua anggapan akan hilangnya anak-anak selalu dikaitkan dengan pembantaian? Bahkan lelaki yang duduk di sebelahku juga mengatakan kalau cucunya juga hilang, atau ...."
"Lelaki?" Kang Odang mengerutkan dahi begitu dalam, meski suasana makin terlihat redup dengan petromaks yang tak lagi disentuh supaya diturunkan dan dipompa untuk menambah terang kaus lampu, namun itu masih terlihat.
"Iya. Lelaki yang datang dengan cucunya."
"Benar apa yang kamu katakan?"
"Iya. Bahkan dia terus menyuapi cucunya. Kenapa, Kang?"
"Sejak tadi sore aku tak melihat lelaki yang duduk dan menyuapi cucunya, seperti katamu."
"Maksud Kang Odang, apa?"
"Dari tadi kamu duduk sendiri. Tidak ada laki-laki seperti ceritamu."
"Apa!"
"Lalu ... lalu siapa yang duduk di sebelahku tadi, Kang!" Gendis beranjak cepat dan melangkah menyeberang meja untuk sampai di samping Kang Odang.
Gendis berdiri dengan kaki bergetar. Kang Odang pun bangkit dan segera menuju belakang kotak kayu dengan plastik bening pengganti kaca.
"Aku bahkan sudah sering mendengar cerita seperti itu." Kang Odang menarik semua beberapa sisa mi dan rajangan seledri ke dalam satu wadah, dan meletakkannya ke dalam keranjang bambu.
"Itu sudah biasa terjadi bukan? Bahkan kita tak pernah tahu satu tamu yang hadir itu benar-benar manusia atau bukan."
Makin merinding Gendis mendengarnya.
"Tetapi dia tadi duduk dan berbicara denganku, Kang!" Masih terdengar tak percaya.
Kang Odang melewati Gendis, meraih gagang petromaks yang dia gantung di depan gerobok. "Sebaiknya kamu lekas pulang. Kamu bisa kembali besok. Tiap sore aku akan selalu menunggu pelanggan di sini."
Gendis menoleh ke arah belakangnya, jalan lurus yang tadi sudah terlihat begitu gelap, terlebih petromaks sudah terlihat benar-benar nyaris padam.
"Baik ... baik, Kang." Setengah terpaksa Gendis akhirnya memutuskan untuk keluar tenda.
Sekali lagi dia menoleh ke arah tenda, masih terlihat Kang Odang meraih mangkuk yang ada di hadapannya tadi, menumpahkan ke tanah. Sepintas lalu Kang Odang melempar lirik ke arah Gendis, mata itu terlihat mengerikan. Tak ingin diusir paksa, Gendis berlalu, karsa untuk mencari tahu lebih lanjut perihal hilangnya anak-anak serta satu bocah yang membawanya ke sini, pupus sudah.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛
HorrorDengan diantar Pak Serabi, mereka pergi ke Banjarsari, setelah Daryono berkeinginan untuk terus menjaga suluh keluarga agar tak padam. Bukan tanpa sebab, mengingat bapaknya hanya dua bersaudara dan tujuannya ke Banjarsari tak lebih untuk mencari keb...