DI ALAM BERBEDA

160 15 7
                                    

"Sebaiknya kalian pulang, dan tunggu saja di rumah," kata Pakde Saring saat rombongan pencari itu berhenti.

"Iya. Bukan kami tak menghargai kalian untuk membantu mencari Alit, tetapi benar apa kata Kang Saring," timpal satu lelaki.

"Benar. Kalian lihat? Bahkan Daryono sendiri memutuskan untuk tak ikut dalam pencarian."

Sontak Mala, Gendis, dan Puan menoleh ke belakang. Benar apa kata Pakde Saring, Daryono tak ada di belakang mereka.

"Itu karena kondisinya, Pakde." Alasan masuk akal dari Gendis.

"Iya. Pakde tahu. Lebih baik kalian tak usah melanjutkan mencari Alit, atau kalian mau diantar oleh satu orang untuk kembali."

"Tidak ... tidak usah, Pakde. Kami bisa kembali sendiri. Lagi pula belum terlalu jauh," sambar Mala.

"Ya, sudah. Berikan obor itu kepadanya!" perintah Pakde Saring kepada satu lelaki di sampingnya untuk memberikan obor kepada Mala.

"Ayo, kita harus menemukan Alit."

Teng!

Deng!

Tuk!

Tuk!

Deng!

Peralatan kembali dipukul.

"Alit!"

"Alit!"

Rombongan terus melangkah meninggalkan mereka bertiga dengan hanya bisa berdiri menatap obor yang terus bergerak menjauh.

****

Dan kini, menyisakan mereka bertiga.

"Kenapa aku jadi takut tinggal di kampung ini," keluh Puan, mereka sudah menapak jalan yang diapit deret rumah khas tekel balung.

"Lagi pula tujuan kita sudah tercapai untuk mengantarmu ke rumah Pakde Saring, Ndis. Bagaimana kalau besok kita pamit pulang saja," sambung Mala.

"Ya, masak hanya dua hari. Tujuan kedua kita bukannya liburan. Iya, 'kan?" balas Gendis.

"Eh, bagaimana kalau kita minta Pakde Saring untuk membuatkan patung untuk kita sebagai oleh-oleh. Bagaimana?" usul Gendis untuk memecah suasana hati dua sahabatnya.

"Tinggal minta saja. Aku rasa pasti diberi oleh Pakde Saring. Lagi pula kenapa juga mesti menunggu Pakde Saring untuk membuatnya. Itu patung di belakang rumah tinggal pilih mana yang kamu suka. Iya toh?" ucap Mala yang berjalan di tengah.

"Iya juga, ya. Kalau aku kurang suka patung-patung itu. Aku ingin patung yang lain dari yang sudah ada."

"Lelaki telanjang?" seloroh Puan.

"Bukan. Aku ingin banget Patung Ganesa," terang Gendis.

"Ah, kamu minta yang aneh-aneh saja. Diberi juga sudah bersyukur, Ndis. Lagi pula Patung Ganesa bukan buat pajangan."

"Iya, tetapi kalau patung yang tingginya sama dengan kita bagaimana coba membawanya."

"Tunggu, tunggu!" Puan menahan langkah dua sahabatnya.

"Kalian lihat itu."

"Apa?" tanya Gendis.

"Itu!"

Sontak Mala dan Gendis mengikuti arah di ujung telunjuk Puan.

"Anak kecil," imbuh Puan.

"Eh, iya. Apa yang dia lakukan dengan berdiri di tengah jalan malam-malam begini." Gendis mengarahkan obor ke depan.

𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang