ALIT

172 16 34
                                    

Tak butuh satu kalimat mantra untuk mengundang malam datang, bumi tak akan ingkar janji untuk menenggelamkan matahari, pekat datang seiring senja pergi.

Empat orang berjalan tergesa menapak jalan menanjak. Wajah-wajah cemas makin jelas tanpa bias saat mereka sampai di depan pintu gebyok dengan ukir tangkai relung.

"Kang!"

"Kang Saring!"

Sementara di ruang tengah, mereka sedang berkumpul di meja makan. Sejenak Pakde Saring meletakkan cangkir.

"Biar saya saja, Pakde," tawar Daryono melangkah pincang.

"Tidak usah, Le? Mereka datang seperti biasa." Pakde Saring melangkah meninggalkan Daryono yang berdiri tertegun.

"Seperti biasa? Memangnya apa kebiasaan orang di kampung ini kala surup seperti ini? Bukankah mereka seharusnya menutup pintu rapat-rapat. Bukankah seperti itu, Mbokde? Sebagai orang Jawa, yang Gendis tahu demikian."

"Sepertinya ada anak yang hilang lagi." Mbokde Renjong juga berlalu meninggalkan meja, meninggalkan semua yang masih saling pandang.

"Hilang?" Daryono teringat akan beberapa orang yang melintas di depan rumah tadi, di mana kasak-kusuk terdengar untuk mereka menuju kuburan.

Tanpa ada yang memerintah, keempatnya melangkah dikejar penasaran yang mulai berpijar.

"Belum juga kembali, Kang." Satu lelaki di depan pintu.

"Sejak kemarin malam. Bahkan kami sudah mencari ke tiap sudut hutan di kuburan," imbuhnya setelah terlibat pembicaraan.

"Apa yang harus kita lakukan, Kang? Kami tak tahu harus ke mana mencarinya."

"Siapa yang hilang, Kang?" Mbokde Renjong berdiri di samping Pakde Saring.

"Anakku. Namanya Alit," kata lelaki tua dengan baju tak dikancing.

"Alit?"

Lelaki tua dengan kumis sebagian telah memutih mengangguk.

"Baiklah. Aku akan segera menyusul kalian," kata Pakde Saring. Hanya itu yang diucapkan dan cukup membuat empat lelaki tadi undur diri dengan meninggalkan ambang pintu.

"Hilang? Maksudnya, Pakde?" Puan memberanikan bertanya.

"Iya. Ada anak hilang lagi," jawab Pakde Saring, bergegas melangkah ke dalam.

"Hilang bagaimana, Mbokde? Kemarin ada beberapa orang yang juga mencari seorang anak dan mereka menemukannya di dekat pekuburan itu. Iya, 'kan, Mas?"

"Iya. Sudah banyak anak yang hilang di kampung ini. Itu kenapa kampung ini begitu sepi meski datang purnama. Halaman dan jalanan kampung akan terasa sepi oleh suara anak-anak yang bermain dalam teduh sinarnya."

"Sebagian anak ditemukan di tempat berbeda. Bahkan, sebagian hanya meninggalkan kesedihan mendalam bagi orang tuanya. Mereka tak pernah ditemukan," terang Mbokde Renjong, lalu menoleh ke arah Pakde Saring yang sudah hadir dengan udeng tungkus berwarna hitam, senada dengan baju dan kolor hitam yang membalut bagian bawah.

"Aku akan membantu mereka untuk menemukan Alit."

"Aku ikut, Pakde," aju Daryono.

"Iya. Kami juga ingin membantu mencari," timpal Puan, Gendis, dan Mala, juga mengangguk mengiyakan.

"Baiklah. Ayo."

****

Belasan lelaki dan perempuan sudah menunggu dengan nyala obor yang menerangi halaman rumah berdinding gedek pipil saat Pakde Saring datang dengan obor di tangan. Puan juga telah memegang obor yang diberikan oleh Pakde Saring sebelumnya sewaktu di rumah.

𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang