MISTERI KEBUN JAGUNG

151 17 14
                                    

Berbeda dengan yang dialami Gendis.

"Puan!"

"Puan!"

"Mala!"

Gendis terus menyibak daun jagung, meninggalkan Puan yang berada tak jauh dan terlihat sama, berlari dan terus menyibak untuk menemukan jalan. Keduanya seperti dibatasi oleh sesuatu yang tidak tampak, hingga tak menyadari keberadaan masing-masing.

Tak ada yang bisa dilihatnya, kecuali pekat malam yang menambah tak tentu arah dalam luas kebun jagung yang bagai tak memiliki tepi.

Krak!

Krak!

Jejak langkahnya ditandai oleh beberapa batang jagung yang patah terinjak. Dia terus mencari keberadaan Puan.

"Puan!"

Hingga dia menghentikan langkah seketika saat dari sela-sela daun jagung dia melihat satu perempuan dengan kebaya jebeng berdiri menatap dirinya. Sontak dia berteriak dan memilih kembali berlari menyusuri jalan yang tadi dilalui.

"Akh!"

Sosok perempuan berkebaya merah ternyata juga ada di hadapannya, berdiri dengan wajah pias tanpa darah seraya memegang wadah dalam corak blirik. Ada lembar-lembar daun pisang yang menutupi isi wadah yang terbuat dari seng tersebut.

Dia terus berlari menyibak.

Bruk!

Sesekali dia tersungkur saat tak lagi memperhatikan langkahnya.

"Puan!"

"Tolong!"

Kontan dia menghentikan langkah seraya memegangi dada, mencoba mengingat sosok yang berdiri memegang wadah belirik tadi, merasa dia mengenal perawakan serta kebaya khas yang dikenakan.

Kerosak!

Kerosak!

Terdengar daun saling gesek menghasilkan lembar-lembar yang bergerak.

"Puan!"

Mencoba menerka seraya melangkah pelan kini.

Kerosak!

"Puan?"

Srak!

Dia menyibak daun.

"Akh!"

Jelas dia dikejutkan dengan satu anak yang berdiri dengan kepala terbalik. Tampak satu rimbas berukuran sedang masih menancap di lehernya yang menampilkan koyak lebar hingga terlihat otot leher yang terputus, menyisakan kulit yang masih menyatu. Terlihat menahan kepala agar tak terlepas dan jatuh menggelinding.

"Akh!"

Dia berlari dengan tak menentu arah, dia sasak sembarang arah untuk berlari menjauh.

Bruk!

Sekian kali dia harus terjatuh oleh jarak pandang serta rapat batang jagung.

"Akh!"

"Akh!"

Tubuhnya bagai ada yang menarik. Dia terus berusaha untuk menggapai pangkal batang, mempertahankan dirinya dari sosok yang terus menyeretnya.

"Akh!"

Deg!

Dadanya bak dihantam keras gandin, saat tak melihat satu sosok yang jelas tadi kuat mencengkeram kaki dan menariknya, bahkan batang jagung di hadapannya masih berdiri rapat, tak satu pun helai berbatang tengah itu patah oleh hadirnya satu sosok.

"Puan! Hu hu hu."

Tak mampu bangkit dari ketakutannya, hanya bisa melipat lutut seraya terus menangis.

𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang