Ruangan yang tadi gelap kini temaram oleh lampu gantung dengan semprong. Perempuan dengan kebaya jebeng, rambut sanggul dihias kembang goyang meludah, "Cih!"
Ludah yang jatuh ke tanah berwarna merah, sama merah dengan deretan gigi depan perempuan yang terus mengoleskan tembakau susur.
"Sopo siro. Sing kejolo kabete reng kene." (Siapa kamu. Jangan banyak tingkah di sini). Dengan meraih kotak kayu kecil berisi bahan kinang.
"Sun Mak Tutuk," (Saya Mak Tutuk), ucapnya mengenalkan diri.
"Lare hang riko deleng iku lare kene. Lare buru sore." (Anak yang kalian lihat itu anak-anak sini. Anak yang tak tahu apa-apa).
"Yang ada di kebun jagung tadi?" tanya Mala, jelas dia yang membuka mata tadi.
"Iyok." (Iya).
"Kenapa kami bisa tersesat di kebun jagung? Padahal seingat kami ada di pinggir jalan, Mak?"
"Mak tidak bisa berkata banyak. Ada banyak hal dan kalian tak harus tahu."
"Kalian tunggu di sini. Mak ambil minuman," sambungnya.
Keempatnya tak bisa berkata untuk menolak, seiring Mak Tutuk melangkah ke dapur seraya meludah.
"Beruntung sekali kita bertemu Mak Tutuk. Andai tidak ...."
Belum selesai ucapan Mala, Mak Tutuk keluar dengan satu tampah lebar berisi berbagai makanan dalam mangkuk. Sebuah kendi kehitaman tampak berada di tengahnya.
"Kami sudah makan tadi di perempatan. Tidak harus repot-repot, Mak." Daryono menyambut tampah seraya berdiri, dia lakukan karena umur Mak Tutuk yang sepuh dengan berjalan gontai.
"Rujak soto," katanya, matanya memandang Daryono dengan bola mata bergerak-gerak.
"Rujak soto?" Daryono terheran-heran, bahkan makanan berkuah itu masih mengepul, seakan baru diangkat dari tungku.
"Makan."
Keempatnya saling tatap saat Mak Tutuk kembali meludah.
"Cih!"
"Makan," ulangnya.
"Kami ... kami masih kenyang," jawab Puan. Dia menyodorkan mangkuk yang ada di hadapannya. Belatung yang keluar dari perutnya salah satu alasan dia menolak rujak soto.
"Tidak baik menolak pemberian orang lain, apalagi makanan. Mak sudah memasak ini untuk menyambut kalian. Hi hi hi," tawanya.
Dan tawa itu terdengar menakutkan. Deret gigi kemerahan oleh tembakau susur menambah seram wajah Mak Tutuk yang terlihat sengaja mengurai rambut panjang dengan dipenuhi uban.
"Kami hanya ingin ke rumah Pakde Saring, Mak." Daryono melakukan hal sama. Meski tak terlihat menyodorkan mangkuk, jelas dia menolak rujak soto.
"Akan datang suara-suara berisik. Mereka yang akan mengantarkan kalian ke mana tempat yang kalian maksud. Hi hi hi," ucapnya terlihat ramah dengan selalu diakhiri kikik menakutkan.
Mala hanya bisa menelan ludah, dia yang hanya melihat ke mangkuk tak berani mengatakan kepada Gendis yang ada di sebelahnya. Kotoran sapi jelas yang disuguhkan oleh Mak Tutuk, bukan seperti yang dia ucapkan. Itu bukan rujak soto.
Sejenak Mala menoleh ke arah Puan. Terka benaknya Puan juga melihat yang sesungguhnya, terbukti dia menolak kotoran sapi yang dihidangkan.
Kerucuk. Kerucuk!
Kendi kehitaman yang dituang Mak Tutuk mengeluarkan aroma menyengat, mirip dengan berbagai ramuan jamu rebusan.
"Malam akan terasa dingin dan panjang. Baiklah, kalau kalian tak mau memakannya. Paling tidak ini bisa mengusir hawa dingin."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛
HorrorDengan diantar Pak Serabi, mereka pergi ke Banjarsari, setelah Daryono berkeinginan untuk terus menjaga suluh keluarga agar tak padam. Bukan tanpa sebab, mengingat bapaknya hanya dua bersaudara dan tujuannya ke Banjarsari tak lebih untuk mencari keb...