Keempatnya duduk di belakang. Sesekali tubuh mereka terguncang saat roda menggilas berbatuan sebagai dasar jalan, menghindari lubang.
"Woe!" teriak Gendis dengan tangan direntangkan.
Tanpa berteriak pun, angin akan selalu menerpa rambutnya sebagai ucapan selamat datang. Sama seperti angkuhnya gapura dengan bagian atas melengkung, menyatukan kedua tiang.
Daryono duduk dengan memeluk tas, bersandar menatap arah berlawanan. Wajahnya begitu dingin, seakan ada yang sedang ia pikirkan.
"Woe, kami datang!" Teriakan itu membuat Daryono menoleh setengah mendongak. Pun hanya diam saja, tetapi sorot matanya menandakan dia terusik.
Kembali dia menatap arah semula. Tak ada yang menarik di matanya, hanya rindang yang menaungi jalanan, rumput-rumput liar.
Perlahan tapi pasti mobil itu menjauhinya. Terlihat satu perempuan di pinggir jalan, perempuan itu menoleh. Ada yang aneh di matanya, mata itu seakan tak memiliki lingkar hitam.
Daryono berkernyit. Sayang, jaraknya sudah menjauh hingga tak bisa jelas melihatnya.
"Woe!" Daryono akhirnya angkat bicara.
"Duduk! Jangan teriak-teriak!" ucapnya, hanya dibalas senyum mengembang, rambut acak-acakan oleh sapu angin.
"Duduklah, Ndis. Kayak tidak pernah naik mobil saja!" seru Puan.
****
Sesampainya di mulut jalan kecil.
Mesin mobil masih menyala meski roda tak lagi bergerak setelah menempuh jarak yang lumayan membuat badan pegal.
"Aku hanya bisa mengantar kalian sampai sini, ya," kata Pak Serabi.
"Iya, Pak. Tidak apa-apa. Terima kasih sudah memberi tumpangan sampai sini."
"Kalian lewat jalan situ saja." Pak Serabi menunjuk jalan yang menurun curam. Rumpun bambu yang terlihat lebat seakan menelan sisi depan hingga nyaris tak terlihat badan jalan yang menurun.
"Nanti kalian menemukan kampung. Kalian bisa bertanya dengan orang situ," imbuh Pak Serabi.
"Aku mau langsung ke Sendang Sari. Besok aku kembali, dan kalian kalau ingin pulang bisa menunggu di sini. Mungkin seminggu lagi aku masuk."
"Kalau begitu aku terus, No."
Keempatnya mengangguk, melepas mobil yang melaju perlahan meninggalkan mereka.
****
Lesu tergambar dari wajah keempatnya sepeninggal Pak serabi.
"Benar ini jalan menuju Banjarsari?"
"Pak Serabi lebih hafal dari pada kamu. Sudah, ayo." Daryono berjalan paling depan dengan satu tangan terus memegang kaki. Meski pincang, tak serta-merta membuatnya berjalan lambat.
"Yakin ini tempatnya, Ndis?"
"Bismillah. Yakin," jawab Gendis mantap.
"Kalau kita tersesat bagaimana coba?"
Puan berbalik lalu menatap Mala. "Sejauh mana kita akan tersesat? Di dalam hutan, dan tak menemukan jalan keluar? Seperti cerita-cerita horor itu! Iya?"
"Cuma anggapanku saja. Tidak usah berlagak seperti ibuku." Mala lalu meninggalkan Puan dan Gendis yang tertawa menutup mulut.
"Cepat! Sebentar lagi surup! Kalian mau tidur di tepi jalan ini, ha!" seru Daryono.
****
Ketiganya tak banyak bicara. Keadaan makin gelap saat mereka melewati jerambah tiga batang kelapa. Gemercik air terdengar makin mengimpit rasa, menghadirkan sunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛
HorrorDengan diantar Pak Serabi, mereka pergi ke Banjarsari, setelah Daryono berkeinginan untuk terus menjaga suluh keluarga agar tak padam. Bukan tanpa sebab, mengingat bapaknya hanya dua bersaudara dan tujuannya ke Banjarsari tak lebih untuk mencari keb...