Toko patung di pertigaan jalan itu.
"Mau beli patung, Pak?" tawarnya, satu lelaki dengan handuk kecil melingkar di leher dengan topi nyaris menutupi wajah.
"Mau lihat-lihat dulu. Boleh?" balas lelaki yang datang.
"O, boleh, boleh. Silakan. Atau kalau mau, saya sarankan patung yang itu." Lelaki yang terlihat seperti pelayan menunjuk deret patung pada sisi ujung.
"Baiklah. Saya akan lihat-lihat dulu," ulang lelaki tersebut dengan menoleh kepada satu perempuan yang menggandeng bocah kecil.
"Ayo, Bu. Kita ke sana," ajaknya kemudian, meninggalkan lelaki berkalung handuk yang memandanginya dengan senyum samar sepintas.
"Bu, Adi tidak mau ke sana." Suara bocah lelaki yang berjalan di samping perempuan, menahan sejenak langkah mereka.
"Loh? Ada apa toh, Le?"
Bocah itu menggeleng, setengah menarik lengan ibunya.
"Kita tidak lama. Bapak hanya mau membeli patung untuk hiasan teras. Setelah itu kita akan ke toko mainan, ya?" ucapnya, dengan mengusap beberapa kali rambut ikal bocah dengan tatap lurus, seakan ada sesuatu yang dia lihat di ujung deret patung.
"Benar kata bapakmu, Le. Kita hanya ...."
"Adi tidak mau, Bu," jawabnya dengan menarik wajah lalu menatap mata sang ibu.
Tak ada yang mereka ucapkan saat bocah itu kembali menggeleng, hingga ketiganya menoleh ke arah di mana mereka datang tadi. Tampak dua perempuan berjalan riang, sesekali terdengar tawa dari keduanya.
"Aduh kamu gantengnya. Siapa namamu?" sapa satu perempuan dengan seragam sekolah, mencoba mengulurkan tangan setelah berdiri di depan Adi.
"Adi," jawab bocah itu. Tampak peluh mulai mengalir dari dahi.
"Maaf, Pak, Bu. Mau mencari patung juga?" Salah satunya.
"Iya. Kalian juga mau membeli patung?"
"Tidak. Kami sudah biasa tinggal di sini."
"Tinggal di sini? Kalian tinggal di sini? Atau kalian ini anak pengrajin patung yang menetap di sini. Maksudnya ...." Lelaki itu mengerutkan dahi.
"Kami ... e. Kami biasa singgah di sini," ralatnya.
"Kamu kenapa? Kamu lihat itu, ada banyak teman yang telah menunggu," ujar salah satunya, mencoba tersenyum kepada Adi.
Entah dari mana datangnya, banyak bocah-bocah yang sudah berdiri seraya melambaikan tangan kepada Adi.
"Kamu lihat mereka, 'kan? Mereka begitu bahagia kini."
"Kamu mau berkenalan dengan mereka?" ulangnya.
Dua perempuan seketika tersenyum kepada kedua orang tua Adi. Itu tak berlangsung lama saat Adi mengangguk, tanda dia setuju.
Tak ada kata terucap saat kedua perempuan itu menggandeng kedua tangan Adi, mengajaknya melangkah, meninggalkan bisu dari mulut kedua orang tuanya.
"Pak?"
"Sampean, lihat itu?"
"Apa?" tanya suaminya.
"Baju kedua perempuan itu berlumuran darah."
"Adi! Adi!" panggil sang ibu saat Adi sudah tak terlihat dengan berjalan dalam gandeng dua perempuan yang hilang dari pandangan saat deret patung menghalangi pada bagian ujung.
Segera keduanya mengejar.
"Adi!" teriak sang suami.
"Apa benar yang kamu lihat, Bu!"
Perempuan itu tak menjawab, tetapi terus mengejar hingga sesuatu menjatuhkannya saat dirasa tubuhnya terbentur sesuatu.
Bruk!
"Oh!"
"Bu, kamu tak apa-apa, 'kan?"
Di hadapan mereka sudah berdiri lelaki dengan wajah nyaris tertutup topi yang dia kenakan.
"Mereka membawa Adi. Anakku!"
"Mereka?" Lelaki yang sempat beradu tabrak tadi lalu menatap heran.
"Mereka. Dua perempuan dengan seragam sekolah tadi."
"Tidak ada siapa-siapa di sini, bahkan ini masih jam sekolah bila memang itu benar," tegas lelaki bertopi.
RECO NGGETIH ©Kuswanoto3
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛
HorrorDengan diantar Pak Serabi, mereka pergi ke Banjarsari, setelah Daryono berkeinginan untuk terus menjaga suluh keluarga agar tak padam. Bukan tanpa sebab, mengingat bapaknya hanya dua bersaudara dan tujuannya ke Banjarsari tak lebih untuk mencari keb...