PENTOL PERTIGAAN

135 14 0
                                    

"Bagaimana rencana kita malam ini?" bisik Puan kepada Gendis, mereka berkumpul di kamar Daryono.

"Pakde Saring belum juga kembali. Aku makin curiga kalau dia sebenarnya mengetahui keberadaan Mala." Daryono dan Gendis menatap Puan dengan tatap menghunjam.

"Maafkan aku harus mengatakan ini. Ini hanya dugaanku saja," ralat Puan setelah merasa Gendis tak suka mendengarnya.

"Masalahnya kita tak tahu harus ke mana lagi mencari Mala, bila memang iya Mala hilang dan belum dikembalikan dari dunia yang berbatas tipis dengan dunia kita bagaimana?"

"Entah, lalu suara tangis siapa tadi? Bahkan kita sudah mencarinya di tiap sudut ruangan penyimpanan patung. Nyatanya kita tak menemukan siapa-siapa."

"Tapi suara itu jelas, Mas? Aku yakin, ada sesuatu di rumah belakang itu," imbuh Gendis, masih membahas suara tangis yang tak disertai wujud tadi.

"Apa kita harus meminta orang pintar di kampung ini untuk membantu menemukan Mala?" saran Daryono.

"Di mana? Mas, lihat sendiri, 'kan? Rumah di bawah itu nyaris seperti tak berpenghuni. Aku tak mau lagi ke sana," tolak Puan.

"Cukup, Mas. Benar apa kata Puan. Aku juga tak mau sesuatu yang aneh menimpa kita lagi. Sekarang adalah waktunya untuk menemukan Mala, lalu kita pamit pulang." Begitu juga Gendis.

"Iya, lalu apa yang akan kita perbuat, ha? Kita akan mencari Mala ke mana lagi."

"Atau kita pulang tanpa Mala?"

"Mas, urusan akan bertambah panjang bila kita pulang tanpa Mala. Bahkan mungkin saja orang tuanya akan menuduh kita. Aku tak mau ... pokoknya kita pulang berempat!"

"Bila benar apa yang aku lihat tentang sosok tanpa kepala itu. Aku berkeyakinan kalau Mala memang telah dibunuh."

"Mas, sekarang Mas, mempunyai pemikiran yang sama dengan Puan!" Gendis tidak terima pernyataan Daryono.

"Ndis, anggap saja seperti itu. Kenyataan berbeda akan berbicara setelah kita menyelidiki ini semua. Mbokde Renjong jelas-jelas keluar dari ruangan itu. Aku melihat benar dia membawa baskom belirik, dan isinya sudah dia cincang ...."

"Lalu, Mas. Mau bilang kalau itu Mala. Iya!" potong Gendis.

"Aku sudah bilang, anggap saja begitu."

"Tidak, Mas. Mbokde Renjong bukan manusia berhati iblis hingga ...."

"Ndis, Mas Daryono bukan menuduh Mbokde Renjong atau Pakde Saring, kita hanya butuh titik untuk menyelidiki ini sendiri tanpa bantuan mereka. Kamu paham, 'kan?" jelas Puan akan ucapan Daryono.

"Hal masuk akal bagi kita. Bukannya kita menuduh Pakde Saring atau Mbokde Renjong. Andai benar apa yang dikatakan Mas Daryono, paling tidak kita bisa mencari tahu siapa pelakunya. Kamu paham tidak toh?" imbuhnya.

"Lalu apa yang harus kita lakukan malam ini, Mas?" beralih kepada Daryono.

"Kita mulai dari kecurigaanku terhadap Mbokde Renjong. Kita akan memeriksa bagian dapur terlebih dahulu. Ayo."

"Apa yang aneh. Itu hanya daging sapi cincang, bahan bakso," rutuk Gendis lalu berjalan paling belakang

****

"Kita mau mencari apa coba di dapur."

"Atau kita tunggu saja Mbokde Renjong untuk menanyakan langsung kepadanya, bila Mas, masih curiga dengan daging itu."

Puan dan Daryono tak memedulikan ocehan Gendis, mereka terus mencari sesuatu yang menguatkan dugaan awal.

"Jangan bilang kita akan mencari kepala sosok yang dimaksud Mas Daryono."

𝗥𝗘𝗖𝗢 𝗡𝗚𝗚𝗘𝗧𝗜𝗛Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang