"Semua orang pantas membenci siapapun, namun apakah pantas membenci seseorang yang berbuat hal tanpa di sengaja?"
♡♡♡
Mata yang sedari tertutup mulai terbuka karena sedikit terganggu dengan sinar matahari yang muncul dari celah gorden dan juga terdengar sebuah isakkan kecil sekitarnya.
Isakkan kecil yang didengarnya tadi mulai terdengar keras dan menyayat hati saat kedua matanya tak sengaja bersitatap dengan mata gadis yang tengah menangis dengan mata memerah disampingnya.
"L-lo?" tak bisa berkata lagi, Arthur mulai menyandarkan kepalanya di head board ranjang, mencoba mengingat hal semalam yang terjadi akibat kebodohannya. "Oh shit!" setelah mengingat semuanya, Arthur menoleh kearah Amara yang terus-terusan menangis.
Melihat keadaan gadis itu yang kacau, kasur yang berubah warna, dan ia tak memakai pakaian ia bisa menyimpulkan sesuatu. Arthur menghela nafas kasar kemudian bangkit dari tempatnya, berjalan ke kamar mandi dengan sesekali mengacak rambutnya seolah frustasi.
Gerak-gerik lelaki itu tentu saja tertangkap oleh Amara yang semakin menutup mulut tak percaya dan berusaha agar tak teriak. "D-dia gak merasa hiks bersalah?" rintihnya.
"Dia perkosa aku, d-dan sekarang dia malah santai pergi ke hiks ka-kamar mandi?"
Cek lek
Pintu terbuka memperlihatkan Arthur yang sudah berpakaian rapi dengan rambut yang basah terlihat sangat tampan tapi dimata Amara lelaki itu tampak menjijikan.
"Mending lo mandi, anggap aja perbuatan gue semalam itu gak pernah ada," celetuk Arthur dengan ekspresi datar. Mungkin lelaki itu tengah merasa bahwa ucapan yang ia lontarkan sangat tepat dan pas.
Amara terkekeh dengan dada semakin sesak, apa? Lelaki bajingan itu setenang ini? Apa Arthur tak mempunyai hati sedikitpun?
"Kamu brengsek," lirih Amara dengan mencengkram selimut putih yang membungkus tubuh naked-nya.
"Setelah apa yang kamu lakuin semalam, kamu dengan tenang bilang bahwa harus dilupain?"
Arthur menaikkan alisnya kemudian melemparkan handuk yang ia kenakan untuk mengeringkan rambutnya ke sembarangan arah. "Ya terus mau lo gimana? Gue harus apa?!" cecar Arthur dengan wajah dingin.
Amara terdiam dengan menunduk. Benar, kalau tidak dilupakan lalu apa? apa ia meminta Arthur untuk menikahinya? Itu tidak mungkin, mengingat lelaki itu sangat mencintai Clara, kekasihnya.
"Diam, kan lo, mending sekarang lo pulang, orangtua lo pasti khawatir karena lo gak pulang semalam," ujar Arthur lalu beranjak keluar dari kamar.
"Kalau lo lupain tentang perbuatan kita semalam, gue sama lo gak bakal dapat masalah, yang penting lo tetap diam semuanya aman," sergah Arthur tanpa berbalik badan.
"DASAR BRENGSEK, KAMU GAK MIKIR KALAU AKU TRAUMA ATAU APA! KAMU EGOIS CUMA MIKIR DIRI SENDIRI, AKU BENCI SAMA KAMU!" jerit Amara dengan wajah memerah menahan tangis dan amarah.
"Gue gak peduli."
Brak
Amara menjerit sekuat tenaga dalam hatinya, ia kesakitan, mentalnya terguncang, apa Arthur memang menganggap dia perempuan rendahan dan sangat murahan?
Ia merasa tercela, ia kotor dan penuh dosa.
Kaki mungilnya mulai melangkah, memunguti dress-nya yang sobek, menahan rasa perih di kewanitaannya saat ia melangkah. Melawan itu semua, gadis mungil itu menangis kembali sejadi-jadinya di bathtub, mencoba menghapus tanda-tanda kemerahan yang dibuat oleh si bajingan Arthur.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARTHARA (TERBIT)
Teen Fiction(END) FOLLOW SEBELUM BACA! DON'T COPPY MY STORY, BABE♥ "kak Arthur, aku hamil." "Hm?" "Kakak bakal tanggung jawab, kan?" "Gak mungkin! Minggu depan gue tunangan!" "Apa?" ________ Amara tak mengerti lagi dengan takdir yang diberikan Tuhan untuknya...