"Nyatanya tidak ada satu manusia pun yang sempurna selalu ada sisi gelap dan terang dalam sikap tenang nya."
Maaf lambat up!
Bokap udah larang gue buat nulis, guys!😆
Sedih? Of course, gue benar-benar gak bisa ninggalin dunia nulis yang udah buat gue tumbuh kayak gini.Diam-diam mungkin bisa ygy.
Tapi, ah udahlah gak udah di pikirin bawa santai aja ya. 🤭♡♥︎♡
Satu minggu berlalu kini Amara dan Aaron tengah mempersiapkan diri untuk melakukan perjalanan jauh membuka lembaran baru yang mungkin lebih bahagia.
Semua urusan sudah selesai, Aaron sudah mengambil alih perusahaan milik Ayahnya, Amara dan Aaron sudah membuat surat pindah yang tentu saja membuat hampir seantero heran apalagi Amara yang sudah seminggu tak bersekolah.
"Udah semua, Ra?"
Amara menoleh kebelakang kemudian mengangguk. "Udah, berangkatnya sore 'kan bang?" tanya Amara balik.
Aaron mengangguk lalu menatap jam di tangannya. "Iya sore, tapi kita nunggu di bandara aja, Ra. Takut malah kejebak macet entar."
Amara tersenyum tipis lalu mengambil sebuah figura keluarga kecilnya diatas meja. "Mama sama Papa di sini aja ya, jaga rumah. Abang sama Adek pergi, gak tau apa balik lagi atau gak," bisiknya dengan senyum sendu.
"Ra.."
Amara tersenyum kemudian meletakkan satu figura itu kembali ke tempatnya. "Berangkat, bang?"
Aaron tersenyum kemudian mengangguk. "Iya, yuk pamitan dulu sama Bibi dan anaknya."
Amara menarik satu koper kuningnya menuju depan di sana sudah ada bibi, supir dan satpam yang di pekerjakan oleh orangtua nya dulu.
Amara tersenyum kepada Bibi yang tengah menatapnya sendu. "Bi.. Jangan lupain Ara, sampai ketemu nanti," bisik Amara dengan nada bergetar.
"Bibi gak bakal bisa lupain Non Ara. Baik-baik di sana yah."
Setelah mengucapkan kata-kata perpisahan, supir di rumahnya langsung mengantarkan dua kakak-beradik itu menuju bandara.
Saat sampai di bandara keduanya menunggu pesawat take off di holding area. Amara menurunkan pandangannya kemudian matanya beradu pandang dengan kedua sahabatnya yang tengah berlari kearahnya dengan senyum tidak ikhlas dengan sedih.
"Ra! Lo kok benaran pergi sih?!" pekik Jane dengan airmata yang mengalir di kedua pipinya.
Amara menerima pelukan kedua sahabatnya dengan senang hati. "Aku udah gak bisa hidup disini, gak ada tujuan," jawab Amara dengan senyum tipis.
Ketiganya melerai pelukan terakhir itu dengan menatap wajah sendu Amara. "Ra, kami ada disini buat lo gak mesti lo harus pergi gini buat hilangin semua kenangan tentang orangtua lo." jelas Jane dengan binar sedih dimatanya.
"Gak bisa, Jane," ujar Amara dengan lembut.
Tangan Diandra mengelus pelan tangan Amara. "Gue setuju sama apapun keputusan lo, Ra. Gue berdoa semoga semua hal baik dan terbaik hadir di setiap hari-hari lo disana."
"Amin, makasih Diandra."
Jane bersedekap dada. "Gue belum bisa ikhlasin kepergian lo, beb. Tapi gue bisa apa? Keputusan kalian udah bulat, terimakasih udah hadir di hidup gue selama ini. Lo itu figur paling penting di hidup gue, terimakasih banyak buat semuanya." ujar Jane dengan tulus membuat Amara terharu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARTHARA (TERBIT)
Teen Fiction(END) FOLLOW SEBELUM BACA! DON'T COPPY MY STORY, BABE♥ "kak Arthur, aku hamil." "Hm?" "Kakak bakal tanggung jawab, kan?" "Gak mungkin! Minggu depan gue tunangan!" "Apa?" ________ Amara tak mengerti lagi dengan takdir yang diberikan Tuhan untuknya...