ARTHARA 5

24.5K 1.2K 23
                                    

Part di hapus untuk kepentingan penerbitan!

"Apa yang kamu miliki tapi tidak kamu syukuri, adalah salah satu kebahagiaan dari beberapa orang yang menginginkan."

♡♥︎♡
Sudah tiga hari Amara mengurung diri di dalam kamar dan selama itu pula semua anggota keluarganya sangat khawatir lantaran gadis itu katanya tidak ingin di ganggu dan juga mengatakan bahwa ia tidak sehat.
Selama itu pula, gadis itu tidak sekolah, ia seolah-olah menutup diri dari dunia luar.
Tok tok tok
Pintu terus diketuk entah itu Ibunya, Ayahnya atau Kakaknya tapi Amara benar-benar tak ingin diganggu namun bukan berarti ia tidak mengijinkan mereka masuk.
"Masuk aja," sahut Amara dengan nada lemah. Ini sudah rutinitas mereka saat ia sedang sakit.
Pintu terbuka memperlihatkan ibunya yang tengah membawa nampan berisi makanan dan juga vitamin. "Sayang, makan dulu ya,"
Amara menggeleng, ia semakin menangis di balik bantal yang menenggelamkan wajahnya. "Gak mau!" ujarnya dengan nada menahan isakan.
"Makan dulu sayang, biar sehat lagi, biar bisa sekolah kayak teman-teman kamu yang lain. Yuk bangun dulu."
Dengan penuh kelembutan, Mama membangunkan tubuh Amara agar bersandar di kepala ranjang. "Duh, mata anak Mama sembab banget, sakit banget ya kepalanya?" tangan Mama terulur memasukkan makanan ke dalam mulut Amara menggunakan sendok.
Amara mengangguk saja, ia tidak mau jika orangtua nya mengetahui yang terjadi sebenarnya, ia belum siap jika Ibunya marah besar padanya, ia juga belum kuat jika Ayahnya menampar bahkan memukul nya dan juga ia tak cukup mental saat mendengarkan perkataan mematikan yang keluar dari mulut kakaknya.
Ekspetasi itulah yang membuat Amara sangat diliputi ketakutan, ia masih ingin dipedulikan seperti sekarang, ia masih ingin disayang seperti sekarang, tak akan ia biarkan mereka tau jika gadis itu tengah hamil.
Segala niatnya untuk bunuh diri atau membunuh anak yang berada di dalam rahimnya itu urung karena Amara tertimpa sakit yang biasanya dialami ibu hamil di trimester pertama. Apalagi Amara seringkali mengingat ucapan Diandra yang sangat membuat ia resah.
"Kalau lo mau bunuh diri silahkan, tapi setelah bayi itu lahir! Gue, gue yang bakal rawat dia sampai dewasa nanti! Lo benar-benar gak bisa menerima kenyataan, Amara! Gue tau lo terguncang hebat sama berita kehamilan yang gak pernah sekalipun lo bayangkan, tapi lo mikir, itu yang ada di rahim lo itu gak salah sama sekali! Justru disini lo yang salah, Amara! Emang setelah lo bunuh dia lo bakal tenang? Dosa yang lo perbuat bahkan sangat besar Amara. Dengar, gue masih ada di samping lo, support lo, dan jikapun lo gak mau anak itu, gue dengan senang hati yang bakal jadi ibu buat dia."
Mendengar nama 'ibu' entah ada perasaan aneh yang merayap dihatinya, seperti tidak suka jika kelak anaknya menyebut Diandra dengan sebutan Ibu.
Tidak bisa menerima kenyataan? Tentu saja, siapa yang sanggup menjadi seorang ibu diusia yang terbilang sangat dini terlebih lagi orang yang akan menjadi ayahnya adalah sepupunya sendiri, sangat aneh bukan?
Sebenarnya takdir macam apa ini, Tuhan?
"Hey, sayang, nangis lagi huh," kata Mama dengan nada lembut ia meletakkan piring berisi makan itu ke pangkuan nya, tangannya terulur menghapus airmata yang mengalir dipipi Amara. Selalu saja seperti itu.
"Kamu kenapa sih, akhir-akhir ini aneh banget, sekarang jujur sama Mama kamu kenapa, hum?" tanya Mama, ia meletakkan piring diatas nakas lalu mengambil beberapa obat yang ada diatas meja.
Ayara menerima obat itu lalu langsung meminumnya, berharap juga bahwa obat itu bisa mempengaruhi kandungannya. Bahkan jika ia mati sekalian ia akan sangat bersyukur.
Amara menggeleng sebagai jawaban. Ia memejamkan matanya menahan gejolak dalam perutnya yang hendak memuntahkan kembali makanan yang sudah masuk. "Ara gak apa-apa, Mah."
"Bohong! Kamu kenapa sembunyiin sesuatu sama Mama! Jujur sama Mama Amara, siapa tau Mama bakal bantu buat selesaiin masalah kamu itu, jangan dipendam sayang. Mama sangat khawatir dan takut kalau Amara gini terus, Mama mohon kamu sembuh, sembuh buat Mama. Mama sayang banget sama Ara."
Amara membuka kelopak matanya lalu airmata itu kembali mengalir dengan cepat ia memeluk tubuh ibunya. Pelukan hangat itu sekarang terasa, membuat perasaan tak tega hadir dalam dirinya.
Amara bukanlah gadis jahat namun bukan berarti ia baik, gadis itu sangat ketakutan dengan masa depan, nasib dan takdirnya ke depan. Apapun yang ia sembunyikan hari ini mungkin terbongkar untuk besok, lusa atau beberapa tahun lagi. Itulah ketakutan terbesar untuknya sekarang.
"Ara takut, Mah," racau Amara semakin erat memeluk ibunya yang juga ikut menangis karena tak sanggup melihat kondisi anaknya.
"Ara hancur, Ara hilang, Ara mau pergi-"
"Sayang, apa yang kamu katakan, hm? Ara gak hancur ada mama di samping Ara, Ara gak hilang ada Mama yang bisa jaga Ara, jangan ngomong gitu, Mama gak suka, Ara harus ada disini terus sama Mama."
Ara memejamkan matanya nerima rasa sakit dihati dan kepalanya. Sakit itu bersamaan, ia terguncang, ia trauma, ia ingin mengakhiri hidupnya, tapi ia tak bisa meninggalkan ibunya.
Ibunya sangat menyayangi dirinya, bukankah dirinya disebut tega sehingga membunuh anaknya kelak?
Tangan Amara perlahan mengusap perutnya tanpa sepengetahuan Mama. "Apa aku harus pertahanin dia?"
Sudah tiga hari ini Amara tidak sekolah, juga sudah tiga hari pula sifat Diandra cukup berubah. Gadis itu menjadi banyak diam bahkan saat Jane bertanya dia hanya mengangguk ataupun menggeleng saja.
Pandangan Diandra jatuh ke sosok lelaki tampan yang tengah berbincang dengan kekasih dan juga teman-temannya. Diandra mengepalkan tangannya, rasa ingin menampar dan memukul lelaki itu sangat menggebu-gebu dalam hatinya.
"Yan, Yan!"
Diandra tersentak kecil lalu menatap Jane yang tengah menatapnya. Mengangkat alisnya, Jane menghela nafas pelan.
"Lo kenapa sih, Yan? Semenjak Amara sakit sifat lo berubah kayak makin dingin gitu, terus gue perhatiin lo selalu liatin si Arthur sama Clara kenapa sih?!" tanya Jane dengan raut wajah bingung dan cukup heran.
Diandra memutar bola mata malas. "Kepengen aja," jawabnya.
"Eh, mau kemana lo?!" seru Jane dengan sedikit kesal saat Diandra berdiri dari kursi kantin yang tadi dia dudukki.
"Toilet bentar."
Nyatanya, langkah kaki gadis tegas nan jutek itu mengikuti sepasang kekasih yang berada didepan sana. Tampak Clara, kembarannya yang sangat menempel pada Arthur.
Darah dalam tubuh Diandra berdesir hebat saat melihat Clara berjinjit kemudian mengecup singkat bibir Arthur karena diminta oleh Arthur sendiri. Kini ia sudah mengikuti sepasang kekasih itu sampai pada taman belakang yang sepi.
"Gue gak bakal buat hidup orang yang udah rusakin sahabat gue jadi tenang, semuanya ada akibatnya. Liat aja," geram Diandra dengan mengepalkan tangannya. Ia sangat tidak suka melihat Arthur yang biasa-biasa saja bahkan setelah membuat Amara hancur dan menderita seperti sekarang.
"Kalau lo bukan pengecut, silahkan keluar."
Ucapan dengan nada dingin yang berat itu begitu kentara membuat Diandra tersenyum miring kemudian keluar dari salah satu bilik pohon saat tadi mengintip kedua pasangan itu.
"Ya?"
Arthur menatap datar Diandra sementara Clara kini hanya terdiam di samping Arthur.
"Kenapa?" tanya Arthur dengan tatapan tajam, mencoba membuat gadisnya di hadapannya takut. Namun bukan Diandra namanya jika takut dengan manusia.
Diandra melirik sekilas kearah Clara. "Gue mau bicara sama ni cowo, lo boleh pergi dari sini," cetus Diandra membuat Clara kesal.
"Kakak apaansih, dia pacar gue, berhak gue larang dia buat bicara sama lo!"
"Gue gak butuh larangan lo!"
"Lo gak berhak usir pacar gue," Cecar Arthur dengan wajah datar. Tangannya menggapai lengan Clara dan mencengkram nya. "Dia bakalan tetap disini!"
Diandra memiringkan kepalanya kemudian bersedekap dada, berusaha menahan gejolak emosi didadanya saat Arthur begitu terlihat mencintai Clara. Bukan iri tapi ia sangat tak tega dengan sahabatnya nanti.
"Oh bagus, jadi dengan begitu dia bakal tau siapa lo!" senyum gadis itu mengembang sempurna, senyum penuh ancaman.
"Jadi, pacar yang lo ba-"
"Shup up fucking bitch!" gertak Arthur namun wajahnya tetap datar. Tanpa sadar cengkraman tangannya menguat sehingga melukai lengan Clara. Clara meringis kesakitan membuat Arthur tersadar.
"Mending lo pergi dulu, Cla. Gue kalau emosi bisa bunuh orang nanti," geram Arthur membuat Clara sangat tak suka tapi juga tak berani membantah.
Diandra terkekeh merdu sangat suka dengan drama didepannya, setelah Clara pergi, tangan Diandra terangkat hendak menampar wajah Arthur dengan sangat kuat.
Bruk
Diandra terjatuh saat Arthur menendang lutut nya memang tidak kuat tapi membuat gadis itu tumbang.
"Ternyata lo cukup nyali buat datangin gue," sinis Arthur. "Kenapa gak sahabat lo aja? Mau tanggung jawab gue, kan?"
Arthur terkekeh dengan nada datar berjongkok didepan wajah Diandra seraya tersenyum miring. "Dengar, sekalipun dia hamil gue gak bakal peduli karena itu terjadi gak sengaja tanpa diminta," bisik Arthur membuat Diandra mendongak menatap penuh amarah kearah lelaki itu.
"Dasar brengsek ya lo, Thur."
"Tuh, tau."
Diandra membuang pandangan nya sangat miris mengingat kehidupan sahabatnya kelak di masa depan. "Amara hamil dan gue minta lo tanggung jawab buat apa yang lo lakuin, iya gue tau lo gak minta tapi itu semua salah lo berdua, anak yang ada dalam kandungannya butuh ayah, dia bahkan gak salah."
Arthur membuang pandangan sebentar kemudian menatap Diandra. "Hamil ya? Gue yakin dia bisa urus anak sialan itu sendiri. Lagian gue juga gak peduli mau dia hamil, bunuh diri sek-"
Plak
Plak
Plak
Disulut emosi, Diandra menampar wajah Arthur sebanyak tiga kali tak membuang kesempatan Diandra juga menendang tulang kering lelaki itu sehingga ia tersungkur. "BAJINGAN BANGSAT LO! GUE HARAP LO CEPAT MATI SIALAN! LO YANG SIALAN! SETAN! DASAR MANUSIA BIADAB!" Jerit Diandra kesetanan.
PLAK
Hanya satu tamparan kuat dari lelaki itu cukup membuat Diandra tumbang dan meringis kesakitan saat ada darah segar mengalir dari sudut bibirnya.
Nyatanya, sekali kasar dan tempramental akan selamanya begitu ya manusia itu akan selamanya kasar. Diandra menyesal menyuruh Arthur agar tanggung jawab, karena dia yakin lelaki itu akan semena-mena dengan sahabatnya. Bahkan dengan dirinya saja Arthur berani bermain fisik.
"Gue paling gak suka sama orang yang ngumpatin gue, itu akibat karena lo usik gue, gue gak peduli gender karena gue bisa kasar sama siapapun. Kalau lo bertingkah kayak tadi bahkan bilang macam-macam sama pacar gue, gue gak yakin orangtua lo masih hidup buat besok, dengar baik-baik."
Arthur berdiri menyeka darah disudut bibirnya. "Masalah Amara lo gak perlu ikut campur, lo itu bukan siapa-siapa."
Setelah punggung Arthur menghilang dari pandangannya. Diandra mengepalkan tangannya dan menangis. Jika boleh jujur ia sangat sakit hati dengan ucapan Arthur tadi sehingga menekat menampar lelaki itu.
Dan juga sangat takut melihat kemarahan laki-laki itu.
"Secepatnya gue harus buat Amara pergi dari sini, gak bakal gue biarin orang kayak Arthur ngusik Amara.."
"Termasuk anaknya..."

ARTHARA (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang