"Level tertinggi dalam mencintai adalah hilangnya rasa memaksa untuk memiliki."
Selamat malam🥰
Happy Reading😄♡♥︎♡
Arthur melangkah cepat masuk kedalam rumah bertingkat itu, tangannya senantiasa mengepal di sisi tubuh. Para bodyguard reflek menunduk takut melihat tatapan tajam yang di berikan Arthur pada mereka.
Sekilas, Arthur melihat banyak sekali vas bunga yang pecah dan tamam di samping rumahnya yang sudah hancur berantakan.
"Kenapa semua ini bisa terjadi sih?!" geramnya. Saat masuk kedalam rumah, ia terperanjat kaget saat seseorang memeluk kakinya.
"Al?" Arthur menunduk kemudian mengangkat Al kedalam gendongannya.
"Al baru satu hari yang lalu keluar dari rumah sakit."
Arthur mengalihkan pandangannya kepada Alex di depan sana dengan rahang mengeras. "Lo bisa jaga mereka gak sih?!" geramnya, seandainya tidak ada Al pasti ia sudah mengamuk dan meninju wajah Alex.
Alex mengerutkan keningnya kemudian bersedekap dada. "Hah? Dengar ya, gue udah jaga mereka semampu gue, gue udah bantu para bodyguard lo buat lumpuhin lawan di luar. Lo perhatiin gue? Apa tubuh gue bisa di bagi? Gue juga udah bantu menyelamatkan mereka, gue udah halang orang di luar tapi gue juga gak tau, kalau ada seseorang yang hancurin kaca balkon Amara dan membawa Amara kabur. Gue gak tau!"
Arthur mengusap punggung Allarich yang sedari tadi menangis. Anak itu bahkan tak mengeluarkan suaranya dari tadi. "Gue kira, meninggalkan mereka sama lo bisa aman selagi gue pergi. Belum dua minggu gue pergi, kejadian kayak gini udah terjadi. Alex, gue gak tau lagi apa yang harus gue lakuin."
"Lo cari bodoh! Lo pikir selama ini gue cuma tidur saat tau Amara di culik?!"
"Rendahin suara lo, Alex. Nanti kita bicara lagi." Arthur melenggang pergi bersama Allarich di gendongannya.
"Dad, mommy pelgii?!"
Arthur tak tau harus menjawab apa. "Gak, dia cuma pergi sebentar, sayang. Daddy janji bakal bawa mommy pulang ke sini sama Al lagi."
Arthur menurunkan tubuh Al di ranjangnya yang besar. Kemudian ia menghempaskan tubuhnya ke ranjang besar tersebut. "Gue capek ya, Tuhan," lirihnya. Saat kemarin Alex meneleponnya, dan mengatakan kejadian yang menimpa orang tersayangnya, ia sangat terpukul dan sakit.
Ia takut Amara pergi jauh darinya, ia takut Amara tak lagi mau bersama dengannya dan Al. Itulah pikiran negatif yang selalu bersarang di otak kecilnya itu. Alex belum memberi tau siapa dalang di balik ini semua. Ia kalut benar-benar kalut tapi ia lebih baik menenangkan anaknya.
"Dad?"
Arthur melihat ke samping di mana Al kembali menangis, membuat ulu hati Arthur menjadi tertusuk ribuan jarum tak kasat mata. Tangan kekar Arthur mengangkat Al hingga berbaring di dadanya.
"Anak Daddy gak boleh cengeng. Mommy gak bakal ke mana-mana. Dia cuma ada di hati Al dan akan selalu di samping Al."
Al menangis semakin keras, apalagi saat Arthur menyentuh keningnya yang terasa hangat. "Tapi, mommy udah lama gak hiks pulang-pulang, mommy gak pelnah ninggalin Al lama. Mommy selalu ada di samping Al walaupun gak setiap jam. Al sayang banget sama mommy," isak Al seraya mencengkram kemeja biru yang di kenakan Arthur.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARTHARA (TERBIT)
Ficção Adolescente(END) FOLLOW SEBELUM BACA! DON'T COPPY MY STORY, BABE♥ "kak Arthur, aku hamil." "Hm?" "Kakak bakal tanggung jawab, kan?" "Gak mungkin! Minggu depan gue tunangan!" "Apa?" ________ Amara tak mengerti lagi dengan takdir yang diberikan Tuhan untuknya...