ARTHARA 41

8.4K 490 25
                                    

"semoga tidak ada lagi perasaan yang mudah tertarik hanya karena diperlakukan dengan baik."

Makasih udah baca!
Jangan lupa VOTE dan komen!
Tolong hargai karya penulisnya kalau kalian suka!

♡♥︎♡

"Buat kenangan paling manis dan berkesan buat dia," bisikan itu membuat airmata di pipi Amara mengalir. Ia memandang wajah sayu Kafael yang menatapnya dengan pandangan terluka.

"Aku udah lakuin hal itu, kan?"

Kafael menyentuh lehernya, ia meringis keras karena kesakitan. "Kamu tega sama aku, Amore mio. Aku kira kamu sudah mulai mencintai ku, ternyata ini awal dari kebencian mu. Amore mio.." suara Kafael perlahan melirih seiring dengan kepalanya yang mulai pening dan sedetik kemudian kepalanya jatuh di ceruk leher Amara.

Amara bergetar ketakutan, tubuhnya seperti di segat oleh sesuatu, pikirannya langsung berputar terlempar pada kejadian beberapa tahun lalu, dimana malam itu masa depan yang ia rancang hancur hanya dengan satu malam.

Tubuhnya bereaksi aneh saat nafas tersendat Kafael menerpa lehernya. Penyakit mental nya ini pasti muncul.

Kafael menarik tubuh Amara agar bisa ia peluk, kemudian pria tampan itu menjatuhkan kepalanya di dada Amara, sementara Amara memekik kesakitan dan berusaha menjauhkan kepala pria itu.

"Sebagaimana pun sikapmu padaku, aku tetap mencintaimu. Terimakasih untuk beberapa menit la-lalu.." Kafael terkekeh miris seraya matanya yang kian tertutup.

"Kamu membuat kenangan manis bersamaku. Aku bahagia." tubuh pria itu lemas dan matanya sudah tertutup, deru nafasnya sudah terdengar di telinga Amara.

Amara menutup matanya dengan tangisan yang tak kunjung berhenti.

Ceklek.

Bunda Anita masuk, saat melihat keadaan di kamar itu, ia hanya bisa menahan isak tangis.

"Amara.."

Amara mengulurkan tangannya untuk membantu Bunda Anita yang kini memperbaiki tempat agar Kafael tidur dengan nyaman.

"Dia kesakitan gara-gara Amara..." Bunda bangun dan memeluk tubuh Amara yang bergetar berdiri di dekat meja nakas.

Yang berteriak kesakitan tadi adalah Kafael, Amara menyuntikkan bius di belakang leher Kafael yang membuat pria itu mengaduh kesakitan dan menutup mata karena mengantuk. Bius itu ia dapatkan dari bunda Anita.

Kata bunda, Kafael bisa kapan saja berulah ganas dan membuat sesuatu yang di luar nalar, makanya bunda sudah menyiapkan sesuatu yang bisa membuat Amara tidak menerima siksaan dari pria yang notabene-nya anaknya sendiri.

"No! Itu sakitnya cuma sebentar aja, dia akan bangun 10 jam lagi. Jadi, silahkan pergi." Bunda mengelus rambut Amara lembut.

"Bunda akan antar kamu kesana. Anak angkat bunda udah ada disana."

Amara mengangguk dengan airmata di pipinya. "Makasih untuk semuanya, bunda. Udah mau bebasin aku dan mau numpangin aku dirumah ini selama beberapa hari yang lalu. Kalau Kafael bangun, sampaikan maaf ku padanya, bunda."

"Aku sudah menolak cintanya, aku juga sudah membuat dia jatuh cinta kepadaku yang bahkan aku gak bisa membalasnya. Aku minta maaf yang sebesar-besarnya."

"Ini bukan salahmu, Amara. Kita tidak akan tau harus jatuh cinta kepada siapa, kita tidak akan tau takdir cinta apa yang sudah Tuhan benangkan pada kita. Kita hanya bisa pasrah. Perasaan cinta itu muncul tanpa salah siapapun." Bunda menatap wajah polos Kafael yang tertidur.

ARTHARA (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang