25 Kepercayaan

1K 157 108
                                    

Just fanfiction!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Just fanfiction!

‼️Cerita ini hanya karangan fiktif belaka sesuai dengan imajinasi penulis‼️

New Version!

●○●

Ayah Adinda—Handoko datang bersama anak bungsunya dari Banyuwangi ke kampung durian, rumah menantunya. Sebenarnya kedatangannya bukan hanya akan menghitung hari baik untuk pembukaan berjualan di pasar, melainkan ia merindukan cucu pertamanya.

"Kopi pak," tawar Marwa menyodorkan kopinya diatas meja warungnya.

Fyi, depan halaman rumah jamal setengahnya dipergunakan Marwa untuk berjualan seblak dan minuman.

Kebetulan Handoko tengah memangku cucunya yang tengah bermain dengan Jayu di kursi warung Marwa, "Maturnuwun." katanya berterimakasih dalam bahasa jawa.

Marwa tidak mengerti arti bahasanya, ia hanya manggut-manggut saja lalu masuk ke dalam warungnya untuk memasak seblak pesanan orang.

"Ini nanti dijual berapa?" tanya Jayu memegang stiker-stiker Almahira baru saja direstock oleh Ilham.

Duo bocil itu memang tengah berbisnis stiker dan tatto mainan akhir-akhir ini, karena menurut mereka berdua mendapatkan uang itu seru.

"Telselah emba Jayu tapi kalau ada yang minta nda ada uang jangan dikasih ya kata oma ila nanti lugi." balas Almahira diangguki Jayu.

Kemudian kepala Almahira mendongak keatas menatap kakeknya. "Akung nda mau belikah?"

Handoko tersenyum lalu mengusak pucuk kepala cucunya itu. "Beli cu siji boleh?"

"Siji itu berapa?" tanya Jayu.

"Siji itu satu is one." kata Almahira menunjukkan angka satu pada Jayu.

"Mana uang akung? Akung nda dapet kalau nda beli pakai uang,"

"Berapa harganya?"

"Dua libu kok," balas Almaria menunjukkan dua jarinya membuat Handoko mengeluarkan uang dua ribuan dua untuk diberikan pada Almahira dan Jayu. Kedua bocil itu menerimanya, "Thank you."

"Nduk, kalau hamil jangan sering keluar malem-malem." ucap Handoko tiba-tiba pada Marwa.

"Ngomong sama saya pak?"

Kepala Handoko mengangguk, "Kalau bisa nunggu lahiran dulu sampai bayinya usia empat puluh hari baru suaminya kerja ke pasar, kalau lagi hamil besar gini rawan jadi inceran jin pasar."

BAPAK-BAPAK RUMAH TANGGA [NV]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang