11. Gara-Gara Atha

1.4K 228 13
                                    

Prilly tidak tahu mengapa semuanya menjadi keluar jalur, berjalan tidak seperti apa yang dia harapkan selama ini. Berkali-kali dia terus bermonolog, bertanya kepada dirinya sendiri tentang bagaimana bisa dia mengambil pilihan yang seperti itu secara spontanitas hanya karena merasa tidak enak terhadap Atha?! Dia bahkan tidak pernah berpikir untuk mengorbankan dirinya demi makhluk menyebalkan seperti Atha. Ini gila. Ya, Prilly pasti gila.

"Jo, lo gila!" Di batas ambang warasnya, Prilly bersuara dengan tidak berdaya dengan mata yang tak lepas menatap pantulan wajahnya pada cermin meja rias di depan sana, lebih tepatnya pada wajahnya yang kini mendapatkan riasan wajah yang syukurnya masih terlihat natural. Menyadari hal tersebut, tangan Prilly melemparkan tisu yang sejak tadi berada di genggaman tangannya dengan kuat ke depan. "What are you doing, Jooo? Gosh!"

Umpatan tersebut mau tak mau membuat Prilly seakan terlempar ke dimensi waktu yang sudah berlalu di belakang sana, tepatnya Ketika dia masih berpikir jika dirinya masih cukup waras untuk tidak mengambil jalan yang dianggapnya menyalah ini.

Satu Minggu yang Lalu

Prilly menarik koper besarnya memasuki rumah setelah mengucapkan salam yang tidak mendapatkan jawaban dari siapa-siapa. Kondisi rumah siang itu sangat sepi seperti tidak ada kehidupan sama sekali, padahal Prilly tadi melihat mobil abi terparkir di depan. Namun, mengingat jika Prilly empat bersaudara di mana yang paling setia dengan rumah ini adalah dirinya, Prilly paham jika hadirnya abi di rumah di waktu kerja tidak mempengaruhi apa-apa. Atha pasti sedang berada di balik meja kerjanya, sibuk merevisi naskah drama atau film yang sekiranya akan dia bawa ke layar kaca atau jika tidak dijadikan projek film pendek di saluran Youtube. Kalau Zaidan, Prilly tidak tahu adiknya itu melakukan kegiatan seperti apa di Dubai. Yang Prilly tahu adalah Zidan sedang menghambur-hamburkan uangnya di sana. Sedangkan Annisa, sudah pasti adiknya itu sedang menimbah ilmu di pesantren. Lihat? Hanya Prilly satu-satunya manusia tidak sibuk di rumah ini setelah umi.

Setelah meletakkan koper di kamarnya, Prilly langsung beranjak pergi menuju dapur untuk menuntaskan rasa hausnya dan melihat apa yang sekiranya dimasak oleh umi untuk makan siang hari ini. Setibanya di dapur, Prilly melihat pintu dorong yang mengarah pada area belakang terbuka. Namun, rasa hausnya lebih besar dibandingkan rasa penasaran akan siapa yang sedang berada di luar. Tangannya menarik kursi meja bar dan meneguk air dari dalam kemasan botol air mineral.

"Atha bilang, dia baru akan menikah kalau salah satu adiknya menikah, Mas."

Prilly menarik bibir botol dari dekat mulutnya Ketika mendengar suara yang begitu dia kenal. Itu suara umi. Penasaran, Prilly turun dari kursi hanya untuk menggesar sedikit kursi tersebut agar suara di luar sana lebih bisa dia dengar dengan jelas.

"Tidak harus Prilly, kan? Kita tahu sendiri bagaimana keadaan mentalnya, Mi. Patah hatinya butuh waktu yang lebih lama untuk sembuh." Itu suara abinya. Jadi, kedua orang tuanya sedang membicarakan dirinya? Tentang patah hati di masa lalunya?

"Tidak mungkin Annisa juga kan, Mas? Lagipula Umi kenal dengan anaknya Syifa. Dia anaknya baik kok. Enggak pernah aneh-aneh dari dulu"

"Banyak kok, Mi, di luar sana yang baik sebagai anak, tetapi gagal Ketika menjadi suami."

Ucapan abinya tersebut membuat Prilly terhenyak, tetapi diam-diam menyetujui hal tersebut.

"Baik saja tidak cukup. Lagian, kita juga tidak bisa tutup mata tentang latar belakang keluarga Naratama. Umi tidak lupa bukan? Kalau keluarga mereka dikenal sebagai keluarga yang tidak lepas dari poligami? Suaminya Syifa, papanya Ali Sandya juga berpoligami. Abi tahu."

"Mas, kalau untuk masalah tersebut, kita kembalikan ke Ravanya."

"Umi mendukung poligami?"

BUBU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang