Muntah lagi.
Untuk kesekian kalinya, makanan yang berhasil masuk ke dalam lambung kembali dikeluarkan. Lehernya bahkan nyaris sakit karena terus menunduk di wastafel. Kedua tangannya bertumpu lelah di sisi wastafel, sedang matanya menatap pantulan wajahnya yang terlihat pucat di cermin. Tidak ada makanan yang berhasil dicerna oleh lambungnya dengan baik sejak sarapan tadi pagi. Perutnya nyaris kosong.
"Masih mual?" Pijitan pelan di pundaknya berhenti, berganti pelipisnya diolesi minyak kayu putih. "Kita ke dalam. Biar perutnya aku kasih minyak angin juga."
Dia menurut, mengikuti Prilly di belakang sambil mengurut pelipisnya sendiri. Merebah pelan di atas tempat tidur, tangan istrinya dengan cekatan mengolesi minyak angin di perutnya.
"Aku ambil air hangat dulu di bawah. Kamu mau dibuatkan makanan apa?" Ali menggeleng lemah. Dia tidak kehilangan nafsu makannya sejak semalam. Tidak ada makanan yang ingin dia makan saat ini. "Mau makan apa? Aku masakan."
"Nggak, Jo." Matanya terpejam erat, mencoba mengistirahatkan isi pikirannya terlrebih dahulu.
"Udang asam manis?"
...
"Ayam bakar madu?"
...
"Udang sambal matah?"
...
"Ikan acar kuning?"
Semua itu makanan kesukaan Ali. Prilly menyebutkan semuanya, menu yang biasanya tidak pernah ditolak oleh sang suami. Namun, lagi-lagi kata penolakan kembali didengarnya.
"Kamu belum makan apa-apa daritadi malam. Grilled chicken, ya? Nasinya aku ganti sama mashed potato. Toasted gimana?" Prilly menawari semua menu yang sekiranya bisa ia masak dengan baik, berharap setidaknya Ali memilih satu menu yang akan disantap tanpa harus dimuntahkan kembali setelahnya. "Bakso gimana? Kata Mama, bakso di depan komplek enak. Aku belum coba sih. Mau?"
"Nggak, Jo."
Enggak untuk yang kesekian kalinya.
"Aku buatkan chicken katsu, ya? Oke?" Prilly mencium singkat pipi suaminya yang terasa hangat siang ini. "Setelah makan, minum obat."
Prilly berlalu dari kamar, membiarkan suaminya terbuai dengan angin siang yang masuk ke dalam kamar. Membiarkan Ali terlelap dengan suhu tubuh yang semakin naik.
Suasana lantai 1 di siang hari ini sudah sepi, tidak seramai suasana saat sarapan di pagi tadi. Keluarga dari papa dan mama mertuanya sudah pamit pulang pukul 10 tadi dan akan kembali ke sini saat malam ketiga. Diam-diam Prilly merasa lega ketika keluarga besar Naratama mengatakan akan pulang tadi pagi. Dia tidak harus mendengar ucapan-ucapan menyakitkan yang sesungguhnya tidak ingin dia dengar, terlebih percakapan mengenai poligami, Salsabila Fahresya, dan juga pernikahannya dengan Ali yang terkesan tiba-tiba. Tidak sedikit juga dia mendengar bisik-bisik fitnah yang mengatakan bahwa dia dan Ali terlibat dalam hubungan satu malam yang berujung dia hamil. Sangat tidak terduga sekali.
Prilly biasanya bukan orang yang penyabar. Dia cukup sensitiv, tetapi juga bisa menjadi sangat munafik. Saat mendengar fitnah itu selepas sarapan tadi pagi, dia hanya menatap para penggosip itu dengan malas. Jika tidak mengingat mereka adalah sepupu suaminya, mungkin sudah ia maki habis-habisan tanpa cela.
"Hamil kan, buktinya? Baru nikah loh."
"Nikahnya juga terkesan buru-buru. Seperti nggak ada persiapan."
"Oma aja marah karena baru dikasih tahu H-7."
"Udah biasa sih. Tante Syifa kan, nggak suka banget sama oma dari dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
BUBU
ФанфикPrilly Zoravanya tak menyangka bahwa kehadiran Ali Sandya Naratama mampu membangkitkan semua luka di masa lalunya.