"Mas pulang sebentar, ya? Enggak lama." Ali berjalan mendekati Prilly kini sudah mulai bisa duduk bersandar dengan nyaman setelah 'menghabiskan' sarapan paginya yang sederhana. "Audy datang jam berapa?"
"Dia udah di jalan. Mas pergi aja. Aku udah sedikit lebih baik kok," ujar Prilly memejamkan mata ketika Ali merengkuhnya. Bahkan sudah sepagi ini, suaminya masih sangat wangi mengingat Ali belum pulang sama sekali sejak kemarin sore. Dia menikmati wangi tersebut dengan nyaman dan sedikit tidak rela ketika Ali menjauh, menciptakan jarak sedikit. "Kamu pakai parfum apa, sih? Wanginya awet banget."
"Kamu suka?" Prilly mengangguk dan tanpa permisi memeluk Ali lebih erat lagi. "Sesuka itu? Padahal Mas belum mandi loh, Jo."
"Suka aja. Kamu kalau ke kantor pakai parfum ini juga?"
Tangan Ali bergerak mengelus rambut istrinya dan diam-diam menyatukan helaian rambut yang berantakan hingga menjadi satu dan mengucirnya. "Ke kantor beda lagi."
"Iya, nggak usah pakai parfum ini kalau ke kantor. Pelukable banget soalnya." Ali tertawa lirih mendengarkan ucapan tersebut. "Nanti bawa ya? Aku mau bagi. Selera kamu kayaknya bagus. Kalau bang Atha, parfum dia dari zaman kapan, tetap Dior Sauvage. Kalau orang bilang sih, wanginya cowok jaksel banget."
"Saya juga ada di rumah. Ini mau sampai kapan peluk sayanya? Bukan nggak suka. Tapi, baju ganti kamu udah habis. Terus Mas belum mandi juga. Camilan kamu udah habis semua."
Mendengar hal tersebut, Prilly langsung menjauh dengan ekspresi penuh permintaan maaf. Perempuan itu tertawa kecil seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah ulang tahun yang begitu istimewa. "Iya, maaf. Parfumnya jangan lupa ya?"
"Iya." Ali kembali memeluk singkat, memberikan kecupan singkat di sudut bibir istrinya, kemudian benar-benar pergi meninggalkan ruangan dengan tangan menjinjing blazernya.
Setelah pintu ruangan tertutup rapat, Prilly spontan meletakkan kedua telapak tangannya di depan dada seakan sedang meredam sesuatu di dalam sana. Pupil matanya melebar dengan deru napas yang tidak stabil. Perempuan itu terlalu dalam euforia yang ia rasakan hingga tak sadar Audy sudah berada di dalam ruangan. Audy menatap aneh pada kebingungan yang tergambar di wajah sahabatnya.
"Jatuh cinta lo, ya?!"
Prilly terhenyak ketika mendengar seruan tersebut. Wajahnya yang tadi terlihat kebingungan mendadak julid saat mendapati Audy di sisi ranjangnya. "Kenapa sih lo heboh banget?"
Mata Audy menatap Prilly penuh kecurigaan dengan kepala yang semakin mendekat membuat Prilly kontan memundurkan kepala. "Fix sih no debat. Lo jatuh cinta," ujar Audy masih dengan mata menyipit. "FIX SIH ANJIR! Jangan denial lo! LO.JATUH.CINTA."
"Berisik banget sih lo."
"Jo yang katanya sepakat untuk nggak saling jatuh cinta, akhirnya jatuh juga ke lubang yang dia gali sendiri. Enak, nggak? Lagian lo sok banget pakai acara bilang jangan saling jatuh cinta. ENGGAK ADA ITU SEMUA."
Telunjuk Prilly terangkat, mendorong dahi Audy agar menjauh darinya. "Yang jatuh cinta beda Tuhan diam aja," katanya kemudian. "Koko Surabaya itu banyak, Dy. Nggak ada yang nyangkut apa?"
"Kalah sama yang habis sholat Jum'at."
"Udah gila lo!"
"Abang lo misalnya."
Kini, tanpa menahan lagi Prilly menarik kedua sisi pipi sahabatnya tersebut hingga membuat Audy berteriak brutal disertai nama-nama binatang yang tidak pernah absen.
***
Prilly sendirian di ruangannya. Audy sudah pamit belasan menit yang lalu setelah menerima panggilan dari atasannya. Perempuan itu juga sempat mengomel betapa gilanya atasannya tetap mengusik ketenangannya di saat dia sudah mengajukan cuti selama 2 hari. Prilly sendiri tidak mau ambil pusing dengan omelan Audy, mengingat sahabatnya itu pernah cinta setengah mati dengan sang atasan yang sekarang sudah bisa dimaki-makinya tanpa ragu lagi.
![](https://img.wattpad.com/cover/232769347-288-k228230.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BUBU
FanficPrilly Zoravanya tak menyangka bahwa kehadiran Ali Sandya Naratama mampu membangkitkan semua luka di masa lalunya.