Prilly duduk sendiri di sudut ruang yang sunyi, tatapan kosong melayang ke kejauhan. Dia merasa seperti terperangkap dalam labirin pikirannya sendiri, di mana bayangan-bayangan kesedihan melingkupi hatinya yang hancur. Suara-suara luar terdengar redup, seolah-olah terisolasi dari dunia di sekitarnya. Dia merasakan rasa hampa dan kehilangan yang melekat pada setiap sudut ruangannya. Foto kecil yang dulu dia letakkan di atas meja, mengingatkannya pada impian yang hancur dan senyum yang tak pernah dapat dia rasakan. Setiap kali dia melihat guratan tinta di kertas, itu membawanya kembali pada momen-momen kebahagiaan yang sekarang terasa begitu jauh.
"Kenapa aku tidak bisa melindunginya?" pikir Prilly dalam keheningan pikirannya. Pertanyaan itu, seperti hantu yang tak pernah lepas, menghantui setiap langkahnya. Kesedihan yang melibatkannya terasa begitu tak terkendali, seolah-olah gelombang emosi yang kuat terus menghantamnya tanpa ampun.
Terkadang, Prilly merenung di dalam kegelapan, menyelam dalam lautan pikiran yang gelap dan berliku. Pada saat-saat tertentu, dia merasa seperti tenggelam dalam kehampaan yang menakutkan, di mana tidak ada cahaya yang bisa menembusnya. Tangis yang tiba-tiba pecah, seolah-olah merobek jiwa yang sudah terluka. Dia mencoba untuk menjauhkan diri dari orang-orang yang peduli dengannya, memendam perasaan yang terlalu sulit diungkapkan. Wajah yang dulu berseri-seri sekarang memancarkan ekspresi kelelahan yang sulit untuk dia sembunyikan. Prilly merasa seperti dirinya yang dulu telah hilang, digantikan oleh bayangan diri yang penuh luka dan terluka.
Menghadapi kenyataan bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi, Prilly berjuang untuk menemukan sinar kecil harapan. Mungkin, suatu hari nanti, dia akan mampu melewati kabut kehampaan ini dan menemukan keseimbangan yang baru. Tetapi, untuk saat ini, dia tetap berada dalam perjalanan sulit yang diperlukan untuk menyembuhkan luka batinnya yang terluka.
Namun sebelum itu, ada yang harus dia selesaikan.
Rumah mereka. Dia harus mengepak barang-barangnya terlebih dahulu dari rumah tersebut. Rumah yang tak lagi dia kunjungi sejak hari kelam tersebut.
Dengan setiap langkah, Prilly merasakan beratnya beban emosional yang membayangi setiap sudut perjalanan pulangnya. Rumah yang dulu dipenuhi dengan tawa dan kebahagiaan, kini terlihat sepi dan dingin. Kuncinya yang memutar dengan perlahan di pintu depan memberinya sensasi aneh, seakan-akan memasuki dunia yang kini begitu asing baginya.
Langkahnya terdengar gemetar di setiap lorong rumah yang seakan-akan menjadi saksi bisu dari kisah rumah tangga yang merosot. Matanya memandang kosong ke sekeliling ruang tamu yang dulu penuh kehangatan. Potret bersama yang terpajang di dinding, senyuman bersama yang pernah begitu tulus, kini hanya menjadi kenangan yang terasa jauh.
Melangkah menuju dapur, aroma familiar dari masakan yang dulu menjadi keharuman rumahnya, kini hanya menghadirkan rasa getir di bibirnya. Prilly membuka lemari es dan menatap setumpuk makanan yang tersimpan tanpa semangat. Memori tentang bagaimana mereka dulu duduk bersama di meja makan itu terasa seperti kilatan sejarah yang pernah ada.
Saat Prilly mencapai ruang santai utama, dia melihat sofa tempat mereka dulu bercengkrama di malam hari. Kenangan tentang tawa dan cerita bersama begitu hidup di pikirannya, namun sekarang, sofa itu tampak sunyi dan sepi. Prilly duduk, menundukkan kepala, membiarkan rambutnya yang terurai menutupi ekspresi wajahnya yang sulit dibaca.
Prilly berjalan melewati ruangan santai menuju kamar tidur yang dulu dipenuhi dengan suara tawa dan pelukan hangat. Sekarang, tempat tidur itu seperti pulau terpencil di tengah lautan kehampaan. Dia menutup pintu kamar dengan hati-hati, meresapi ruangan yang kini hanya memberinya kesendirian. Membuka lemari, Prilly menatap pakaian-pakaian suaminya yang masih tertata rapi. Dia merasakan rasa sakit ketika tangannya menyentuh setiap baju yang pernah melibatkan kisah hidup mereka. Lembaran-lembaran kenangan yang berserakan di sekitarnya, seperti halaman-halaman buku yang terbaca. Prilly mencoba menemukan keberanian untuk merapikan baju-baju itu, menandakan akhir dari babak hidupnya yang dulu bahagia.

KAMU SEDANG MEMBACA
BUBU
ФанфикPrilly Zoravanya tak menyangka bahwa kehadiran Ali Sandya Naratama mampu membangkitkan semua luka di masa lalunya.