24. A Woman with Her Feelings

1.7K 263 57
                                    

"Kenapa saudara gue?" Adza menarik kursi kitchen island, meraih sepotong buah yang berada di atas piring kemudian melahapnya cepat. "Dari sekian banyak laki-laki yang lo kenal, kenapa Sandy?"

Ada begitu banyak pertanyaan di kepala Adza terhitung sejak dia mendapat kabar bahwa saudaranya akan menikah dalam waktu dekat dan terkesan mendadak. Pemikiran seperti Ali Sandya menghamili anak perempuan orang tak bisa dielakkan dari pikirannya hingga Adza sudah menyiapkan sederet kalimat umpatan untuk dilemparkan ke wajah Ali.

"Kalian menikah bukan karena accident, kan?" Adza menggerakkan dua jarinya seperti tengah memberi tanda kutip pada satu kata terakhir dalam ucapannya.

"Kalau iya, kenapa??? Dan kalau pun enggak, kenapa?" Dari balik pintu kulkas, Prilly menanggapi tak peduli. "Nggak semua hal, lo harus tahu sih, Za."

Adza berhenti mengunyah remahan kerupuk di dalam mulutnya ketika mendengar ucapan terakhir dari kakak iparnya. Oh, jangan lupakan bahwa sebenarnya dia dan Ali Sandya itu saudara kembar. Terlalu menjijikkan jika harus menyebut Prilly Zoravanya sebagai kakak iparnya. Dia dan Prilly tidak pernah ada di kubu yang sama sejak pertemuan pertama dan tidak akan pernah.

"Pertanyaannya gue ganti. Kenapa saudara gue yang selemah lembut itu harus dapat istri judes kayak lo? Nggak habis pikir sih gue sama selera Sandy sampai sekarang. Alih-alih sama kayak Kaluna, malah dapat yang di bawahnya."

Dua ikat sayur yang baru saja Prilly ambil dari kulkas diletakkan secara kasar di atas kitchen island. Mata perempuan itu menatap Adza dingin, terlihat tidak senang.

"Maksud lo apa?"

Di saat Prilly sudah siap untuk menanggapi peperangan, Adza justru masih terlihat santai mengupas kulit buah jeruk sambil menatap istri saudaranya dengan tatapan meremehkan. "Sandy nggak secinta itu sama lo. Jadi, jangan sok jual mahal. Jual murah aja, belum tentu laku."

Satu ikat sayur bayam segar dilemparkan Prilly ke arah Adza hingga mengenai wajah perempuan itu. "Ngomong lagi coba. Biar gue ajari lo sopan santun."

Adza mencampakkan sayuran yang tadi dilemparkan kepadanya ke lantai. "Lo nggak sehebat itu sampai Sandy harus ngemis cinta ke lo. Ngerti? Lo bukan segalanya dan nggak akan pernah jadi segalanya buat dia. Sampai sini paham?"

Prilly membuang arah pandangannya ke sisi kanan, kemudian melemparkan satu gelas berisikan air di atas kitchen island arah dinding. Adza terlihat terkejut karena Prilly yang melemparkan gelas ke dinding yang tepat ada di belakangnya.

"Jangan sok hebat. Lo nggak hebat sama sekali, Za. Lo hanya seorang pecandu narkoba yang gila karena dilecehkan sama pacar lo sendiri! Iya, kan? Lo itu manusia nggak tahu diri. Gue nggak tahu kenapa suami gue selalu berusaha keras untuk bawa lo pulang ke rumah. Harusnya dia biarin aja lo jadi gelandangan biar tahu caranya berterima kasih!"

"Setan lo, Zora!"

"Pembunuh kayak lo nggak seharusnya bisa hidup damai sampai akhir hayat."

"Diam!"

"Lo bunuh anak lo sendiri. Calon ibu macam apa itu, hah?!"

"Gue bilang diam, Jo!"

Leher Prilly dicekik kuat oleh Adza hingga dia kesulitan bernapas. Alih-alih panik, Prilly justru tersenyum di tengah cekikan mematikan yang dilakukan Adza pada lehernya.

"Lo menyedihkan, Za."

"Dan gue nggak minta empati siapa pun termasuk bocah tengik kayak lo. Paham?"

Pandangan mata Prilly mulai terlihat sayu dan melemah. Di ambang batas sadarnya, dia kembali tersenyum dan mengacungkan jari tengahnya untuk Adza.

BUBU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang