Suasana di ruang santai siang itu terlihat sangat damai dengan suara denting piano yang terus dimainkan oleh Adza sambil sesekali melihat partitur di depannya. Sedangkan Prilly duduk tengah di sofa sambil memainkan ponsel dan sesekali memakan potongan buah di atas meja. Jarum infus sudah hilang dari punggung tangan Prilly berganti, membuat perempuan itu belum bisa banyak menggerakkan tangan kirinya. Ketika Adza berhenti menggerakkan jari-jarinya di atas tuts piano, Prilly menoleh ke saudara iparnya tersebut.
"Kok berhenti?" tanyanya.
"Lo request-lah mau musik klasik apa. Gue nggak tahu."
"Gue nggak tahu musik klasik. Apa aja bebas."
"Hadeuhhh."
Adza membalik-balikkan partitur untuk beberapa kali sebelum jarinya kembali menekan tuts piano acak, tetapi terdengar berirama di telinga Prilly yang memang sama sekali tak mengerti tentang seni musik. Tuts-tuts piano itu terus ditekan acak hingga menimbulkan melodi yang sendi ketika Adza mulai melambatkan temponya. Dan selama itu pula Prilly mulai meninggalkan ponselnya untuk melihat gerakan jari-jari Adza di keyboard. Dia terpesona.
"Lo jago loh."
"Suami lo lebih di atas gue."
"Oh, ya?"
Mata Prilly menoleh ketika mendengar suara pintu dibuka. Ali muncul dari sana dengan rambut depannya yang masih basah. Pria itu menghampiri Adza yang masih larut dalam permainan pianonya. Sebuah sentilan kecil mendarat di dahi Adza, membuat perempuan itu kontan memekik lirih dengan jarinya yang berhenti menekan tuts piano.
"Sholat!"
"Gue haid."
"Alasan kuno dari zaman pra sejarah, Za. Cepat!"
"Mau bukti lo, iya??"
"Beneran datang tamu?" Ali menatap penuh selidik, terlihat tidak percaya.
"Serius, San. Tuh, istri lo belum sholat!"
Pupil mata Prilly melebar, tidak terima namanya dibawa-bawa. "Gue udah sholat ya! Jangan ngajak gelut lo."
Lalu terdengar pekikan Adza. Perempuan itu tertawa disertai permohonan ketika Ali menekan kedua sisi kepalanya geram.
"IYAAA, GUE SHOLAT!!! BANGSAT, SAKITT! SI BEGOK!" Ali memeluk Adza dari belakang dengan sangat kuat, membuat Adza habis kesabaran.
"Sana!" Ali melepaskan pelukannya, tetapi tidak beranjak dari belakang Adza. Pria itu menunggu sampai Adza bangkit. Tapi, Adza tidak kunjung bangkit. "Bangkit!"
"Main dulu Toccata in C Major, Op.7. Setelah itu, gue sholat. Buru," pinta Adza bangkit dari kursi, kemudian mendudukkan saudaranya secara paksa di kursi yang tadi ia tempati. "Setengah juga nggak papa."
"Mas nggak bisa."
"Bohong. Masa belajar dari jaman SMA, lo belum bisa? Pasti bisalah. Buru!"
"Mas nggak bisa. Yang lain aja," tolak Ali sambil melihat partitur di atas grand piano miliknya.
"Jo, lo harus jawab 'iya' apa pun yang gue bilang. Lo ngidam mau tahu dia main Toccata in C Major, Op.7, kan? Iya bilang, Jo." Telapak tangan Adza mendarat di sebelah pundak saudaranya dengan mata yang menatap Prilly agar bisa diajak kerja sama.
Di sisi lain, Prilly tidak pernah tahu tentang musik klasik apa pun. Mendengar musiknya pun hanya sesekali kalau tidak sengaja lewat di Youtube. Namun, berhubung Adza sepertinya siap untuk menabuh peperangan jika dia tidak mengikuti alur permainan ini, Prilly akhirnya mengangguk sambil tersenyum ke arah suaminya.

KAMU SEDANG MEMBACA
BUBU
FanfictionPrilly Zoravanya tak menyangka bahwa kehadiran Ali Sandya Naratama mampu membangkitkan semua luka di masa lalunya.