23. Yang Terlupakan

2.3K 286 60
                                    

Bagi Atha, menikah bukan hanya tentang pesta pernikahan atau hubungan yang merubah menjadi halal di mata Tuhan dan agama. Bahkan pacaran bertahun-tahun juga tidak menjamin bahwa ia telah mengenal pasangannya dengan baik. Pacaran bertahun-tahun juga tidak menjamin bahwa di kemudian hari, dia dan pasangannya tidak saling mengecewakan.

Ada banyak hal yang dipertimbangkan Atha dalam memilih pasangan. Tidak peduli orang-orang mencibirnya terlalu pemilih. Tidak peduli orang-orang sudah sering memburunya dengan pertanyaan kapan menyusul setiap kali ia menghadiri pesta pernikahan. Jika diibratkan karakter game, Atha sudah dalam keadaan full item yang dalam artian sudah sangat kebal dengan berbagai serangan yang merujuk ke arah pernikahan. Akan tetapi, sebanyak apa pun item defense yang ia miliki, tetap saja terkadang ada beberapa ucapan yang berhasil menembus pertahanannya.

Seperti siang ini contohnya. Tidak ada hujan badai, tiba-tiba saja salah satu orang yang termasuk seniornya mengkritik naskah kasar yang dibuat olehnya. Atha tidak pernah masalah dengan kritik. Sungguh. Tapi, kritik yang diselipkan dengan komentaran terhadap kehidupan pribadinya terkadang membuat Atha geram. Jam makan siang dan energinya sudah berkurang banyak karena harus menahan emosi mati-matian.

"Atha, kamu bisalah sekali-sekali coba main di romance. Nggak bosen horor terus?"

Atha akui terkadang dia memang selalu main aman dengan mengajukan naskah yang temanya sudah ia kuasai sejak lama.

"Sabar, Mas. Nanti kalau udah nikah, palingan baru bisa dia nulis romance. Atha 'kan, nggak pacaran. Mana paham dia."

Sampai di sini, Atha masih tersenyum tipis dan mengangguk-angguk tipis seperti orang bodoh sambil menikmati hidangan makan siangnya kali ini.

"Kemarin kan, kita baru kedatangan pemagang. Cantik loh itu. Enggak selera, Tha?"

Lagi-lagi Atha belum memperlihatkan bahwa dia tidak nyaman dengan topik siang ini. "Cantik pun kalau saat adzan musiknya dikecilkan alih-alih beranjak untuk sholat sih, skip. Nggak level gua sih." Sekalian Atha kasih omongan besar. "Yaa ... nggak munafik sih. Gua berusaha jaga sholat dan nggak salah kan, mengharapkan yang setara sama gua? Atau setidaknya yang kalau disuruh sholat, nggak nanti-nanti mulu," tambahnya membungkam semua orang yang duduk dalam satu meja dengannya.

Memuakkan.

Atha menyilangkan sendok dan garpunya di atas piring yang menunya tidak ia habiskan. Tangannya menarik beberala helai tisu guna membersihkan telapak tangannya. "Oh ya, gua lagi garap naskah romance kok. Tapi, bukan romance yang nggak ngasih value apa-apa ke penonton untuk tiket yang mereka beli. Gua ke atas, ya," pungkasnya mencampakkan tisu ke atas meja dengan kasar.

Dia kesal. Oh, siapa yang tidak kesal jika berada di posisinya?

"Tha!"

"Atha!"

Atha batal menekan tombol lift ketika mendengar namanya dipanggil. Dia mendapati sang adik dengan perut yang terlihat sudah membesar melambaikan tangan kepadanya. Dengan segera ia hampiri Prilly sebelum adiknya itu meneriaki namanya di lobi untuk ketiga kalinya.

"Ini perut lo udah besar. Kenapa masih hobi keluar sih, Jo?" Atha mengomel sambil menuntut Prilly untuk duduk di sofa yang ada di lobi. "Suami lo nggak marah apa?"

"Dia lagi ada kerjaan di Surabaya. Gue bosen di rumah."

"Kalau lo lupa, gua masih kerja."

"Loh? Gue ini anak bos loh. Nggak boleh main ke kantor bokap, ya?"

Belum sempat Atha membuka mulut, Prilly sudah mengangkat telapak tangannya mengisyaratkan agar Atha tidak berbicara. Mata perempuan itu terfokus pada siaran berita artis di televisi, membuat Atha turut serta mendengarkan gosip di jam makan siang itu.

BUBU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang