33. Kemarahan Sandy

1.5K 252 58
                                    

-Siklus jatuh cinta selalu sama. Kau jatuh cinta, kemudian dipatahkan dan dibuang bersama hatimu yang patah-

[]

Dari segala yang pernah terjadi di masa lalu, ada satu hal yang tak ingin Prilly dengar dan diungkit-ungkit kembali oleh orang lain: klinik aborsi. Hanya mendengar nama tempat itu disinggung di depannya saja sudah membuatnya kelimpungan. Otaknya dengan otomatis mengambil semua kotak-kotak memori yang berkaitan dengan klinik aborsi tersebut dan memutarnya dengan paksa seperti sebuah kaset rusak yang baru saja dikeluarkan dari kardus lama. Matanya terpejam ketika ingatan-ingatan menyakitkan itu kembali secara patah-patah, membuat kepalanya terasa sakit dan telinga yang mendadak berdenging nyaring. Tangannya yang gemetar menyentuh permukaan perutnya sambil meringis pelan, membuat Ali kontan tersentak.

"Jo, kenapa? Jangan paksa diri kamu, Jo! Kamu punya banyak waktu untuk menjelaskan itu ke saya. Zora? You can hear me?" Ali menepuk pelan pipi istrinya, memaksa perempuan itu membuka mata. "Jangan diingat! Aku nggak akan maksa kamu untuk cerita," tambahnya ketika sepasang mata Prilly menatapnya dengan tatapan yang baru saja kehilangan seisi dunia. Lalu, air mata perempuan itu jatuh, membuat Ali kembali dibuat terenyak.

Ketika Ali belum mampu mencerna semuanya, Prilly menutup matanya dengan telapak tangan dan menghalangi pandangan Ali. Perempuan itu menangis dengan sepasang mata yang tak ingin dilihat.

Tahu bahwa dia harus memberi waktu, Ali akhirnya memilih untuk diam. Namun, dia langsung berdiri ketika mata beberapa orang menatap mereka dengan penasaran. Dia berdiri di depan sang istri, menghalangi siapapun yang penasaran dengan apa yang sedang terjadi dengan Prilly.

"Buka aja matanya. Nggak akan ada yang lihat," katanya sembari mengelus pelan pucuk kepala Prilly. "Jo, I will always be in front of you. Jangan—

Ali belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika sepasang tangan tiba-tiba saja memeluk pinggangnya dan kepala jatuh di perutnya.

"Jawaban apa yang ingin kamu dengar dariku soal klinik aborsi itu?" Akhirnya Prilly mulai membuka percakapan. "Aku yakin kamu punya satu pertanyaan besar yang sangat butuh jawaban."

"Kenapa kamu lakukan itu?"

"Nafsu."

Ada emosi yang tidak bisa Ali definisikan ketika mendengar jawaban tidak terarah dari Prilly. Meski bukan itu  jawaban akan pertanyaannya, dia tetap merasa kesal ketika mendengarnya.

"Ke klinik aborsi. Kenapa kamu ke sana?"

Ada banyak alasan ataupun jawaban atas pertanyaan Ali tersebut. Namun, tak satupun jawaban berani untuk ia berikut.

"Apa kamu benar-benar ingin menanyakan itu, Mas?"

"Fine! Kenapa kamu berniat untuk menggugurkannya, Jo? Anak itu ... kenapa?"

Prilly melepaskan pelukannya pada pinggang sang suami. Kemudian ditatapnya pria yang berdiri menjulang tinggi di depannya. Lama ditatapnya sebelum Prilly menunduk sambil tertawa lirih yang terdengar pedih. "Aku benci matamu, Mas," ujarnya mengejutkan yang tiba-tiba saja mengubah topik pembicaraan. "Kalian terlalu mirip dan aku benci itu," tambahnya kemudian bangkit dari bangku taman.

"Jo," panggil Ali ketika Prilly tiba-tiba saja berjalan menjauhinya.

Suasana taman yang siang itu dipadati oleh pengunjung membuat Ali memutuskan untuk tak lagi memanggil sang istri yang mungkin saja akan menganggu ketenangan orang-orang. Dia memilih untuk mengikuti dari belakang dan tetap menjaga jarak agar Prilly tetap merasa nyaman. Ketika mereka tiba di area parkir, Prilly merampas kunci mobil dari tangan Ali dan langsung mengambil alih kursi kemudi.

BUBU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang