32. First Time

1.3K 228 34
                                    

Prilly dan egonya adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dia tidak suka diprovokasi, karena tentu saja sabar bukan menjadi bagian dari nama tengahnya sejak dulu. Dia juga bukan perempuan berhati baik dan seluas samudra, maka dari itu Nania menyumpahinya agar tidak pernah bahagia. Ada sisi mematikan dalam dirinya yang tidak seorang pun tahu itu. Isi pikirannya begitu kacau dan menakutkan—bahkan dia sendiri takut dengan apa yang ada dalam pikirannya. Saat sedang berada dalam kondisi tertekan, dia rentan merasakan sakit kepala yang seperti akan meledakkan kepalanya seketika kemudian disusul dengan pemikiran-pemikiran tidak logis seperti mencari alternatif bagaimana mengakhiri hidup tanpa rasa takut.

Dia orang yang mudah menyerah.

Ziah selaku psikolog yang menanganinya sejak SMA pernah mengatakan kepada Prilly bahwa dia selalu mudah menyerah untuk sesuatu yang sebenarnya masih memiliki jalan keluar. Di antara banyak jalur penyelesaian, dia akan cenderung memilih jalur alternatif untuk menyelesaikan masalah. Lalu, ketika dia salah memilih jalur dan tersesat, alih-alih putar arah, dia akan lebih memilih untuk menyerah dan pasrah dengan keadaan.

Selain itu, Ziah juga pernah mengatakan kepadanya bahwa dia terlihat seperti sosok yang memiliki sikap pertahanan yang kuat. Dia terlihat seperti sosok yang siap untuk menangkal datangnya badai kapan pun. Tidak terlihat kelemahan dalam caranya menatap seseorang. Namun, Ziah bilang bahwa mekanisme pertahanan itu hanyalah tipuan agar dia tidak terlihat menyedihkan. Ziah bilang dia terlihat seperti orang yang kuat hanya agar orang-orang tidak berani untuk menyakitinya. Maka ketika ada orang yang berani menyakitinya dan tak peduli dengan pertahanan palsu yang coba untuk ia bangun, Prilly goyah. Dia langsung kehilangan kontrol atas dirinya sendiri. Egonya sedikit terusik ketika ada orang yang berani untuk melemahkan pertahanannya.

"Kamu tahu kenapa kamu lost control, Jo? Karena ada sesuatu yang coba untuk kamu sembunyikan, tapi orang itu tahu soal hal tersebut."

Ziah selalu bisa melepaskan anak panah ke arahnya sejak awal.

"Apa kamu tidak bangga dengan jati dirimu yang sebenarnya? Hal apa yang pada akhirnya membuat kamu berpikir bahwa hidup dengan jati diri palsu lebih baik?"

Pertanyaan dari Ziah tidak pernah sudi untuk Prilly jawab—bahkan sampai di konsultasi terakhir— dan tidak akan pernah mau dia jawab. Sebab, Prilly yakin bahwa Ziah sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut. Hal itu terbukti dengan ucapan terakhir psikolognya itu saat sesi konsultasi terakhir beberapa tahun yang lalu itu selesai.

"Jo, hidup dengan persona palsu bukan berarti kamu terhindar dari rasa sakit. Luka emosional yang kamu rasakan hingga membentuk persona palsu itu, coba cari dia dan berdamai. Jika kamu terus bertahan dengan mekanisme pertahan seperti ini, kamu akan benar-benar kehilangan sosok asli dalam diri kamu. Akan sulit bagi kamu menerima mereka dalam kehidupan kamu, Jo."

"Mbak tahu apa yang membuat seseorang bisa menjadi dirinya sendiri?"

...

"Karena mereka memiliki keyakinan—sesuatu yang nggak kumiliki sampai kapan pun."

Tidak ada yang salah dalam perkataan Ziah dalam setiap sensi konsultasi. Psikolognya itu selalu bisa menganalisanya dengan benar dan berhati-hati.

"Lemah lembut, perhatian, mudah jatuh cinta, dan selalu ingin disayang. Kenapa kamu berusaha untuk memusnahkan itu dari dirimu, Jo? What's wrong with that?"

Perkataan Ziah terus berputar di dalam kepalanya seperti sebuah kaset tua yang usang.

Sejak konfrontasi yang dilakukan Salsabila tadi malam, Prilly terus dipaksa untuk kembali mengingat sosok Ziah yang sudah lama ia lenyapkan dari ingatan. Mereka bahkan sudah putus komunikasi sejak dia memblokir kontak psikolognya itu. Namun pagi ini, dia memberanikan diri menyapa Ziah melalui direct message Instagram.

BUBU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang