12. T3 Gate 5

1.9K 266 54
                                    

Haruskah Ali meledak sekarang? Atau apa yang seharusnya ia lakukan untuk meluapkan kekesalan yang bersemayam di dalam dirinya sejak keberangkatannya dari Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai Bali? Ali seperti sedang menghadapi Adzania saat ini. Oh, tidak. Sepertinya ini lebih parah dari itu. Bagaimana tidak? Ali baru saja tiba di Kintamani kemarin sore dan tadi pagi, mama tiba-tiba menghubunginya, mengatakan bahwa beliau sudah mengatur tanggal pernikahannya dengan Prilly! Oh, ya ampun. Memikirkannya saja Ali sudah sakit kepala. Dia bahkan tidak lupa bagaimana kejamnya mulut gadis berusia 25 tahun itu ketika mengoceh tentang banyak hal termasuk tentang Ali yang tidak mungkin tidak memiliki wanita pilihannya sendiri di luar sana, tentang Ali yang tidak seharusnya membawa gadis itu ke dalam rencananya untuk membuat sang mama bahagia. Lalu sekarang apa? Mamanya sudah menetapkan tanggal pernikahannya dengan gadis itu? Hanya dalam kurun waktu 2×24 jam?

Ali berkali-kali menahan kegeramannya dalam pejaman mata ketika kakinya sudah menjejak di lobi kedatangan Bandar Udara Soekarno-Hatta siang ini. Dia terus berjalan menelusuri terminal 3 untuk keluar dari bandara. Di pertengahan jalan, gawai di saku jaketnya bergetar beberapa kali. Hal tersebut, membuat Ali berhenti sejenak dan melihat pesan yang baru saja masuk.

+62 8126610××××

Halo, Mas. Kalau sudah mendarat, langsung ke coffee shop yang di T3 gate 5, ya.

Saya tunggu.

Jemari Ali bergerak cepat melihat info profil nomor asing tersebut dan tidak mendapati sesuatu yang berarti termasuk nama profil WhatsApp tersebut.

Siapa?

Joooo, of course!

Gadis itu!

Ali membenarkan letak tali ransel di punggungnya, kemudian segera pergi menghampiri sumber dari segala sakit kepala yang dideritanya sejak tadi pagi. Dia sudah akan meledak, tetapi langsung batal ketika melihat si pembuat masalah itu tersenyum tanpa rasa bersalah sama sekali. Menghela napas hampa, Ali menghampiri Prilly yang siang itu tampak sederhana dengan setelan serba warna keluarga yang masih mendekati coklat: kemeja flanel coklat, kulot heighweist berwarna cappucino, dan juga jilbabnya yang berwarna coklat susu.

"Kamu sesuka itu sama warna coklat?" Ali bertanya sembari menarik kursi yang berada di seberang Prilly. Dia langsung sibuk melihat buku menu di meja, mengabaikan gadis yang duduk di seberangnya.

"Lebih tepatnya aku suka keluarga coklat, warna beige, frapucino, dan semua warna yang mendekati. "Bagaimana dengan Mas?"

"Saya suka hitam dan putih."

"Yang lain?"

"Hanya itu."

"Jangan bilang kalau semua warna outfit Mas itu warna hitam dan putih?" Priilly menerka penuh awas, matanya terlihat tidak yakin akan sesuatu.

"Hem."

"Selain outfit?"

"Mobil?"  Prilly mengangguk pelan sambil ber-oke lirih. "Hanya itu, kan? Oke, itu bukan——

"Rumah?"

"Allahuakbar." Prilly kontan takbir ketika mendengar kata itu meluncur dari mulut pria yang notabene adalah calon suaminya sendiri. Ini gila. Oh, sudah berapa kali Prilly menggunakan kata itu selama seminggu belakangan ini? "Mas, tahu nggak kalau ada warna selain hitam di dunia ini?" Yang diangguki dengan segera oleh Ali. "Terus kenapa rumah juga harus warna hitam, Mas? Ada warna putih, cream, biru, hijau, abu-abu, dan keluarga warna lainnya. Kenapa hitam?"

BUBU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang