Rumah itu bergaya mediterania dengan dinding beton tinggi berwarna putih dengan sentuhan klasik dan juga minimalis. Ali Sandya bilang rumahnya juga berwarna hitam? Alih-alih hitam dan terlihat gelap, rumah pria itu justru didominasi oleh warna putih dan coklat, serta pencahayaan yang sangat cukup melalui lampu-lampu taman di depan rumah serta jejeran pohon palem yang tidak terlalu tinggi. Ketika mobil yang dikendarai oleh suaminya memasuki carport, Prilly tahu jika rumah ini merupakan surga yang tersembunyi. Terlihat tertutup dan dingin dari luar, tetapi terkesan hangat dan terlindungi ketika berada di dalam. Mesin mobil dimatikan, membuat suasana di dalamnya semakin hening dan canggung. Tidak ada yang berbicara, terlebih Ali yang memang tidak banyak bicara ketika memulai perjalanan dari Bekasi, rumah orang tua Prilly.
"Yah, selamat datang di rumah saya." Akhirnya suara pria itu terdengar setelah helaan napas beratnya. Dia kemudian keluar dari mobil, diikuti oleh Prilly yang tidak mau ditinggal begitu saja. Berdiri di luar, Prilly melihat Ali sedang menurunkan koper yang berada di bagasi satu per satu tanpa berbicara apa-apa.
"Aku kan, udah bilang. Kita bisa gantian." Prilly berjalan mendekati suaminya, membantu menurunkan barang-barang dari bagasi. "Aku bisa nyetir loh, Mas," katanya lagi dengan nada mengejek, terlihat kesal. Ali tidak membalas kalimat ejekan dari istrinya tersebut. Pria itu menutup pintu bagasi, mengunci mobilnya, kemudian berjalan menuju pintu masuk dengan menaiki tiga undakan yang lagi-lagi diterangi oleh cahaya temaram di sisi kanan dan kirinya. "Kopernya biarkan saja di situ. Nanti pak Ikhsan yang bawa."
"Kamu nggak bisa bawa koper sendiri? Ini cuma dua!" seru Prilly dari halaman rumah yang dilapisi dengan paving block berwarna abu-abu gelap.
"Saya capek!" Ali balas menyeru dari terasa rumah, kemudian pria itu melenggang masuk tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Di belakang sana, Prilly mengomel sambil menarik koper miliknya sendiri. "Tinggal geret aja kok susah. Lagian sok kuat nyetir Bekasi-Jakarta. Gue minta ganti posisi enggak mau. Salah sendirilah," ocehnya tanpa menyadari pak Ikhsan yang baru saja keluar dari pintu garasi terdiam. "Ali Sandya! Enggak susah loh tinggal geret koper aja!" Baru sehari, Prilly bahkan tidak ragu untuk menunjukkan sifat aslinya yakni, suka mengomel dan tidak segan berteriak ketika sudah sangat kesal.
Ketika memasuki ruang tamu, Prilly disambut dengan desain interior bertemakan klasik, dinding putih yang dipadukan dengan marmer dan list profil serta celling berwarna putih. Prilly keluar dari ruang tamu melewati pintu lengkung berwarna hitam, kemudian disambut dengan taman kecil di sisi kiri yang ditanami kaktus serta beberapa tanaman lainnya. Di sisi kanannya, Prilly kembali mendapati pintu lengkung hitam dua sisi yang dilapisi oleh kaca. Melewati pintu tersebut, dia langsung disambut oleh ruang makan dan juga dapur bersih yang terhubung dengan ruangan lainnya tanpa sekat apa-apa. Di kursi kitchen island, Prilly melihat suaminya sudah duduk manis di sana dengan satu botol minuman ion yang sudah kosong.
"Mas—"
"Maaf, Non, mengganggu. Kopernya biar bapak aja yang ngurus." Prilly kontan mengatupkan bibirnya ketika sebuah suara memotongnya. Dia menoleh, mendapati pria setengah baya bertubuh gemuk dengan satu buah koper berada di sisinya. "Saya saja yang bawa, Non."
KAMU SEDANG MEMBACA
BUBU
Fiksi PenggemarPrilly Zoravanya tak menyangka bahwa kehadiran Ali Sandya Naratama mampu membangkitkan semua luka di masa lalunya.