Ini bukan sesuatu yang Prilly harapkan bisa berjalan dengan mudah. Dimulai mereka setuju untuk menikah di terminal bandara satu minggu yang lalu, semua proses yang berjalan setelahnya terlalui dengan sangat baik tanpa hambatan apa pun. Mereka tidak terlibat cekcok yang parah untuk urusan pernikahan. Tidak memusingkan masalah ketika salah satu dari mereka tidak bisa ikut bertemu dengan orang WO. Mereka memahami semuanya dalam diam. Prilly paham. Paham ketika Ali bilang dia tidak bisa ikut bertasipasi dalam pemilihan desain undangan, paham ketika Ali datang 1 jam lebih lambat dari janji mereka untuk mencari cincin pernikahan, paham ketika Ali menolak untuk melakukan sesi foto pre-wedding dan Prilly juga mengerti ketika Ali tertidur saat mereka seharusnya berbincang mengenai acara pernikahan di halaman belakang rumah Prilly H-2 acara.
Prilly memahami Ali sebaik yang perempuan itu bisa tanpa pernah mengeluh, marah ataupun memasang raut wajah tidak suka. Perempuan itu mengerti tanpa pernah bertanya kenapa dan bagaimana bisa kepadanya. Maka ketika ungkapan perasaannya tidak kunjung mendapatkan balasan, Ali juga berusaha untuk mengerti sebaik perempuan itu mengerti atasnya. Dia tidak bisa menuntut Prilly untuk memuaskan egonya, layaknya Prilly yang tidak menuruti emosinya ketika Ali tidak bisa memberikan banyak hal untuk acara pernikahan mereka. Untuk perempuan sebaik itu, mengapa tidak pernah ada yang datang setelah Adam?
Alunan lagu Falling in Love dari Cigerattes After Sex menyambut Ali begitu dia keluar dari kamar mandi. Lampu kamar mati sepenuhnya, tersisa cahaya dari luar yang membantu Ali untuk berjalan menyeberangi ruangan. Tanganya meraba dinding untuk menekan saklar lampu yang berada di dekatnya hingga kamar terang benderang. Dia menyisir rambutnya sebentar sebelum keluar dari kamar dengan tidak lupa mematikan music player milik sang istri. Setelah itu, dia keluar untuk mencari keberadaan Prilly. Dia mendapati Prilly tengah sibuk menonton serial film di TV di jam yang seharusnya digunakan untuk istirahat setelah berada di luar rumah seharian penuh.
"Kenapa belum tidur?"
Dia baru saja duduk dan Prilly sudah melakukan sesuatu yang sepertinya memang gemar dilakukan oleh istrinya itu sejak ... mereka menikah mungkin. Remot Televisi tidak lagi menarik untuk digenggam dan diletakkan begitu saja di atas meja. Tangan Prilly berganti memeluk leher Ali dan menyembunyikan kepala di pelukannya.
"Ngantuk."
"Kalau ngantuk ya, tidur."
"Kamu wangi banget sih, Mas? Candu gini wanginya."
"Wangi sabun. Saya kan, baru selesai bersih-bersih. Ke kamar sana, tidur."
"Kamu nggak tidur?"
"Belum ngantuk." Seharian ini dia tidak bisa tenang sama sekali sajak kabar kecelakaan Azra sampai kepadanya. Sudah belasan pesan terkirim ke nomor sang mama sejak terakhir Ali menghubungi mamanya tadi pagi yang sampai malam ini tidak kunjung mendapatkan tanggapan apa-apa. Ali khawatir. Dia terus mencoba menghubungi siapa pun termasuk telepon rumah. Namun, jawaban yang ia dapatkan dari IRT semakin membuatnya tidak puas.
'Tuan dan Nyonya belum kembali dari pagi, Mas.'
Jarak Dubai dengan Jakarta terlalu jauh untuk Ali tempuh dalam waktu singkat.
"Kamu punya perempuan lain ya, Mas? Kalau memang iya, hubungi aja daripada kamu kepikiran terus." Ucapan Prilly tersebut membuat Ali tersentak dalam waktu singkat. "Lagipula kita udah sepakat untuk enggak mengusik masalah pribadi masing-masing, kan?"
Setelah semuanya ... Prilly kembali mengungkit kesepakatan sepihak yang perempuan itu buat ketika mereka bertemu di terminal bandara beberapa minggu yang lalu. Sejujurnya, Ali sendiri berharap mereka berdua melupakan kesepakatan tersebut.
"What if I really have someone else?"
Prilly mengangkat kepala, membiarkan kedua lengannya tetap memeluk leher sang suami. Mata keduanya beradu; Prilly dengan keberaniannya dan Ali dengan segenap rasa percaya diri yang ia miliki. Tidak ada yang mengalah. Hingga tiba-tiba Ali merendahkan wajahnya, mempersempit jarak di antara mereka hingga keduanya bisa merasakan deru napas mereka masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUBU
FanfictionPrilly Zoravanya tak menyangka bahwa kehadiran Ali Sandya Naratama mampu membangkitkan semua luka di masa lalunya.