Tenang diri.
Tenang.
Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian.
___________________________
"Operasi sudah selesai dan pasien sudah melewati masa kritisnya. Namun, untuk saat ini pasien masih memerlukan pengawasan yang intensif dari tim medis. Maka dari itu selama pengawasan intensif tersebut, pasien akan dipindahkan ke ruangan ICU."
Prilly tidak lagi menghitung hari. Dia juga tidak lagi menghitung sudah berapa banyak yang doa dimintanya kepada Sang Pencipta. Rutinitas yang dilakukan setiap harinya tidak berbeda, cenderung sama. Dia akan datang ke rumah sakit di pagi hari hanya untuk menunggu di ruang tunggu ICU hingga menjelang siang hari. Kemudian di siang harinya, Atha akan membawanya untuk keluar makan siang dan akan menemaninya ke rumah sakit di sore hari hingga malam. Kemudian malamnya dia akan pulang bersama Atha ke Bekasi. Rutinitas tersebut terus terulang selama satu minggu belakangan ini. Bahkan tak jarang Prilly didapati duduk melamun di atas tempat tidur di pagi hari dengan tatapan yang kosong.
"Jo, Sandy kritis lagi."
"Lo harus tenang, Jo. Tenang."
"Sandy pasti akan baik-baik aja. Dia bakal survive. Gue yakin."
"Dokter lagi usaha, Jo. Kita harus yakin."
"Kami seluruh tim medis sudah berusaha semaksimal mungkin selama 14 hari ini, Ibu. Dan Kami masih berusaha untuk memberikan perawatan kepada pasien, tetapi Tuhan berkehendak lain."
...
"Pasien tutup usia pada pagi hari ini di tengah usaha kami, Tim Medis. Terima kasih kepada Bapak/Ibu atas doa yang menyertai pasien dan juga tim medis."
Seperti pagi ini.
Bedanya, pagi ini tatapannya tidak kosong. Dia tersentak bangun dengan napas yang tersenggal-senggal, diikuti dengan mimik wajah yang terlihat sedih dan air mata yang sudah luruh di wajah. Prilly menangis. Awalnya hanya air mata yang luruh. Namun, pelan-pelan dia menangis, berusaha untuk menyingkirkan rasa takut yang memeluk tubuhnya selama di alam bawah sadar.
Prilly takut.
Adegan-adegan yang dilihat dalam tidurnya membuat seluruh tulangnya mengigil ketakutan. Berita duka yang dikabarkan dokter di depan ruang ICU seperti melekat di dalam kepalanya, dipaku mati tak ingin lepas.
Nggak boleh.
Nggak mau.
Pulangnya ke aku, Mas. Ke aku dulu.
Batin Prilly terus menyeru, memohon agar didengarkan dan berharap agar mimpi dalam tidurnya itu tidak terjadi.
Itu terlalu menakutkan baginya dan Prilly tidak siap. Dia tidak akan pernah siap untuk kemungkinan terburuk tersebut.
"Nggak mau." Prilly melirih pedih. Dia sangat berharap sesak di dada yang dirasakannya menghilang bersamaan dengan ketakutan dalam dirinya.
Lama Prilly termenung di atas tempat tidur dengan jejak-jejak air mata di pipinya. Dia akhirnya berdiri ketika kepalanya mulai terasa sakit karena menangis terlalu lama. Kakinya melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan wajah dan menggunakan beberapa produk perawatan wajah sebelum keluar dari kamar. Suasana di luar kamarnya terlihat sunyi dan senyap. Ketika dia mulai menuruni anak tangga, sayup-sayup didengarnya suara televisi dari ruang keluar dan dia semakin dibuat bingung ketika meja makan sudah diisi oleh menu sarapan pagi, tetapi tidak sda satupun orang yang duduk di sana. Tidak terlihat asisten rumah tangga yang biasanya sibuk membersihkan dapur ataupun orang-orang yang berkeliaran di lantai satu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUBU
FanfictionPrilly Zoravanya tak menyangka bahwa kehadiran Ali Sandya Naratama mampu membangkitkan semua luka di masa lalunya.