Ali Sandya Naratama bisa melakukan semuanya dengan baik. Dia bisa memainkan tuts-tuts piano dengan ahli hingga menghasilkan sebuah musik yang menghanyutkan. Dia bisa menggerakan kuas-kuas di atas kain kanvas dengan lihai, menciptakan sebuah karya abstrak dengan makna tersembunyi. Tangannya juga bisa membuat maket-maket bangunan dengan detail yang luar biasa. Senyum manisnya menghantarkan kehangatan bagi hati. Tawa lepasnya mengundang semua orang untuk ikut serta dalam kegembiraan.
Ali sangat menyukai ilmu seni. Baik itu seni rupa murni ataupun seni rupa terapan. Dia merupakan pecinta seni, yang juga menggemari matematika dan fisika. Orang sering menyebutnya si luar biasa penuh talenta.
Si luar biasa penuh talenta itu kemudian dipertemukan dengan si luar biasa yang lainnya dengan keterbelakangan karakter yang berbanding terbalik yaitu dia, Prilly Zoravanya Yudistira.
Ali yang penuh kehangatan dipertemukan dengan Prilly yang lebih sering memunculkan aura dingin. Tatapan mata Ali yang dikenal hangat dipertemukan dengan tatapan mata Prilly yang lebih sering terlihat tajam. Ali yang tenang disatukan dengan Prilly yang meledak-ledak.
Prilly seharusnya bersyukur. Setidaknya dia harus bersikap baik kepada Ali yang telah memperlakukannya dengan baik selama ini. Namun, alih-alih baik, dia justru lebih sering membuat masalah dan kegaduhan.
Perang dingin yang terjadi selama dua minggu ini terjadi karena dia berbohong. Prilly sadar akan hal tersebut. Namun, ada sesuatu yang membuatnya tidak berani jujur.
Ketakutan.
Dia takut.
Dia terlalu takut untuk bercerita dan berbagi resah. Dia takut tidak akan ada orang yang mengerti alasan kenapa dia sampai setakut ini.
Dia hanya berpikir bahwa dia harus mati saat ini. Tidak ada jalan keluar untuk mengatasi semuanya. Dukanya tidak akan pernah dipahami. Jeritannya tidak pernah didengar. Uluran tangannya tidak pernah mendapatkan sambutan dari siapa pun.
Akalnya sudah menolak untuk bertahan hingga esok hari. Tidak ada alasan untuk bertahan demi kumpulan novel yang belum sempat ia baca di atas meja atau demi secangkir kopi buatan barista kesukaannya.
'Mati. Mati saja!'
Berkali-kali seruan itu seakan memenuhi seisi kepalanya sejak semalam. Bahkan nominal gaji yang masuk rekening yang biasanya ia jadikan alasan untuk tetap bangun keesokan paginya tidak ada lagi. Matanya menatap kosong layar ponsel yang menampilkan jumlah saldo di mobile banking miliknya.
Saldo ini terlalu banyak. Dia mungkin bisa menggunakannya untuk berobat ke psikiater demi meraup sedikit kewarasan.
Namun, yang dilakukannya justru berbeda.
Hari itu, di sore hari yang tenang, Maulida Hafizah tutup usia di kamarnya yang bernuansa coklat. Sosok yang dikenal sebagai si tenang dan anak berbakti tersebut, tewas di kamarnya sendiri dengan mulut penuh buih karena overdosis dengan baju seragam parumagari yang masih melekat di tubuhnya.
Semua orang menangisi kepergian perempuan itu. Tidak ada yang menyangka bahwa dia yang dikenal sebagai si penyayang keluarga tersebut memutuskan untuk mengkahiri waktu kehidupannya di dunia pada usia 26 tahun.
Ibu jari Prilly menekan opsi 'publiskan' pada layar monitor hingga chapter terakhir dari cerita miliknya sudah berhasil untuk dibagikan kepada para pembaca.
Selang beberapa menit kemudian, akunnya langsung dipenuhi oleh komentar para pembaca. Prilly membaca semua komentar tersebut tanpa ekspresi.
Nadh__ Mou, pada akhirnya kamu kalah sama depresi itu. Selamat jalan, Anak baik.
![](https://img.wattpad.com/cover/232769347-288-k228230.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BUBU
Fiksi PenggemarPrilly Zoravanya tak menyangka bahwa kehadiran Ali Sandya Naratama mampu membangkitkan semua luka di masa lalunya.