Garalline 39

333 22 51
                                    


Happy reading's ✨✨✨

                                *
                                *
                                *

"Ay please bertahan.. kuat ay kuat.."

"DOKTERRRR!!!

Sudah seperti orang gila, Bagas terus berlarian sambil berteriak.

Tubuh besarnya gemetar tak karuan. Dengan peluh dan air mata yang bahkan sudah tak bisa dibedakan. Bagas menangis. Bayangan akan kehilangan gadis yang ternyata begitu disayanginya, rasanya jauh lebih mengerikan daripada kehilangan nyawa sendiri.

"DOKTER!!"

"Gas.." Seru Bisma, yang tak ia hiraukan.

"Gue minta dokter terbaik sekarang!!"

Entah sudah berapa banyak orang yang Bagas bentak, semenjak tiba di selasar. Hanya demi ditanganinya segera, sesosok tubuh berlumur darah, yang sejak tadi masih terus saja erat dipangkunya.

"Mas Bagas..."

"Gue bilang sekarang!!"

"Ngerti ga!! Anj***"

Teriak pemuda itu lagi dengan murkanya. Menambah ramainya hiruk pikuk kehebohan disekitar ruangan, serta derasnya rintihan seorang Ralline.

Dibelakang, gadis itu tak kalah histerisnya. Sesak tangisnya yang tak kunjung mereda, rupanya tetap tak cukup untuk menghilangkan perihnya ingatan, akan kejadian yang telah menimpa saudarinya beberapa saat silam.

"Dini..."

Raungnya kembali pecah diruangan.

...

Flashback on

"AKHHH..."

Jerit spontan Ralline sukses mengejutkan semua orang.

Bahkan Rama yang sedang serius menelepon, sampai menoleh tiba-tiba dan dengan refleks melemparkan ponsel yang sedang dipakainya. Beruntungnya, benda pipih itu meluncur tepat mengenai kepala si pria yang memegang senjata.

Membuat tubuh kekar itu kembali terkapar ditempat seketika.

Tapi..

Bersamaan dengan satu orang yang lainnya.

"AKHHHH..."

Dengan cepat Gara menahan tubuh Ralline yang hendak berlari setelah menjerit histeris untuk kedua kalinya.

"Ada ap.."

"I itu.." gadis itu terus meronta diiringi suara tangis Arsena yang terdengar begitu membahana.

"Diniiiii..."

Semua mata spontan menoleh pada sang pemilik nama. Tak terkecuali Gara, yang masih saja bersikukuh menahan pergerakannya.

Dan didetik itu juga, ketegangan terasa kembali mencekik urat leher mereka.

Dimana disana, dengan mata kepala sendiri mereka melihat, bagaimana darah perlahan merembes dari sela-sela jari tangan Dini, yang setengah melingkar memegangi perutnya yang rata.

Wajahnya nampak memucat. Pandangan matanya kosong, dengan mulut terbuka seperti hendak berbicara.

Namun, seperti halnya timah panas tadi yang datang melesat tiba-tiba tanpa adanya suara. Kini tubuhnya pun serempak roboh tanpa sempat dulu berkata apa-apa.

GarallineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang