24. Mr. El-Zein

59.4K 7.7K 1.5K
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

Absen yang sudah nungguin Lentera Jelita up?
.
.
.

Absen yang sudah nungguin Lentera Jelita up?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"MAS ATHAR JELASIN. MAKSUDNYA ANAK-ANAK SIAPA? MAS ATHAR UDAH PUNYA ANAK?"

"Punya, eh-."

"MAS, YANG BENER.*

"Iya punya eh-."

"MAS ATHAR!!"

"Eh astaghfirullah, kenapa lisan saya jadi keseleo gini," menjeda ucapannya. "Sayang tunggu, mau kemana?"

"Aku nggak mau sama Mas Athar. Aku nggak jadi pergi." Syafiya sudah beranjak beberapa langkah meninggalkan Letnan Athar. Namun suara pengumuman keberangkatan pesawat dan cekalan pada tangannya membuat Syafiya terhenti.

"Sayang, Mas bisa jelasin. Tapi kita ke pesawat dulu ya. Udah mau berangkat," bujuk Letnan Athar meski Syafiya berusaha melepaskan genggaman tangannya.

"Lepasin ih! Lepasin Mas!" Setelah berusaha sekuat mungkin, akhirnya genggaman tangan Syafiya lepas. Dan benar saja, perempuan itu berbalik arah menuju pintu keberangkatan dengan langkah kaki yang begitu cepat. Lalu Letnan Athar juga beranjak mengejar sang istri, khawatir terjadi sesuatu pada istrinya yang tengah hamil itu.

Sesampainya di pesawat, Syafiya cepat-cepat mencari kursi tempat ia duduk. Beruntungnya kursinya berada di ujung dekat dengan jendela. Tak lama setelah itu Letnan Athar juga menyusul dan duduk di sampingnya.

"Sa-."

"Kalau Mas Athar coba ngomong, aku akan pecahin kaca dan lompat dari sini," ancam Syafiya membuat Letnan Athar tak bisa berkutik sekaligus takut.

Pikiran Syafiya berkecamuk. Perempuan itu memilih untuk memiringkan tubuhnya menghadap ke arah jendela.

"Ya Allah, apa aku siap jika nanti harus bertemu dengan anak-anak Mas Athar? A-atau bahkan juga dengan mantan i-istrinya?" monolog Syafiya dengan air mata yang mengalir.

Sementara Letnan Athar semakin merasa bersalah saat mendapati suara sesenggukan kecil yang terdengar dari istrinya.

Syaf, maafkan saya. Seharusnya saya jujur tentang ini sejak awal.

Pesawat sudah melaju di atas udara. Namun dua orang di bangku depan itu masih saling diam. Keduanya mencoba untuk sibuk agar tidak saling berkomunikasi. Bukan, lebih tepatnya Syafiya saja. Perempuan itu memilih membaca buku sembari sesekali menikmati pemandangan dari ketinggian.

"Eh Tur, AADKK?" Jamal menepuk pundak Guntur.

"AADC kali Mal," koreksi Guntur, namun Jamal menggeleng.

"Ada apa dengan Komandan kita? Apa Komandan sama Ibu Komandan lagi marahan ya?"

"Liat tuh, mereka diem-dieman." Jamal memutar kepala Guntur agar menoleh ke arah bangku depan sampingnya, yang tak lain adalah bangku Letnan Athar dan Syafiya.

Lentera Jelita (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang