42. Hukuman Para Om Loreng

56K 6.9K 1.2K
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
.
.
"Jangan pernah iri dengan negara yang selalu saya bela. Jangan pernah iri pada senjata yang selalu saya peluk. Senjata hanya benda, sedangkan kamu adalah perempuan paling berharga dalam hidup saya. Untuk apa iri? Sedangkan kamu adalah alasan saya semangat berjuang untuk negara."

Atharazka Zafir El-Zein

Letnan Athar berada di ruangannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Letnan Athar berada di ruangannya. Ini sudah lewat dari jam pulang. Namun karena ada beberapa berkas yang harus diselesaikan untuk diberikan pada Danyon Arif, maka laki-laki itu belum bisa pulang.

Sambil menulis, sesekali ia melirik pada figura foto yang senantiasa terpajang di dinding ruangan juga di meja kerjanya. Foto yang dulunya hanya menampilkan perempuan cantik, kini di sebelahnya ada foto bayi laki-laki yang sangat imut nan lucu.

"Kalau melihat foto Zayyan rasanya nggak nyangka sudah menjadi ayah selama beberapa bulan terakhir ini."

"Saya nggak tahu bagaimana rasanya jika nanti saya mendapatkan tugas. Meninggalkan Syafiya sendiri saja rasanya berat. Apalagi jika harus meninggalkan dia dan Zayyan. Apa saya sanggup?" Tak terasa air mata menetes. Letnan Athar mengambil dua figura itu, dipeluknya erat keduanya.

"Maafkan Mas ya sayang. Karena kamu hidup dengan seorang abdi negara seperti Mas, maka kalian harus menerima konsekuensi untuk Mas tinggal bertugas. Dan untuk Zayyan, maafkan ayah ya nak."

Tok..Tok..Tok..

Mendengar suara ketukan pintu, Letnan Athar keluar. Itu pasti Danyon Arif. Ia berjalan sedikit cepat.

"Assalamualaikum Letnan Athar."

"Waalaikumussalam Danyon. Mari masuk."

Letnan Athar mempersilahkan Danyon Arif masuk sementara ia berjalan dibelakangnya. Begitulah tata krama berhadapan dengan atasan. Meskipun ruangannya sendiri, Letnan Athar tetap memposisikan dirinya sebagai bawahan dan tidak boleh semena-mena terhadap atasannya.

"Letnan Athar? Menangis?" tanya Danyon Arif saat melihat mata anggotanya itu yang sedikit memerah.

Letnan Athar menggeleng. Ah, harusnya ia cuci muka dulu sebelum membukakan pintu untuk Danyon Arif.

"Laki-laki juga manusia. Rasanya bukan aib jika dia menangis. Apapun permasalahannya, semoga Allah mudahkan Letnan Athar," Danyon Arif tersenyum.

"Tidak apa-apa Komandan. S-Saya hanya rindu istri dan anak di rumah," ujar Letnan Athar.

"Wah kalau itu berarti salah saya. Saya yang memberikan kamu tugas mendadak sehingga kamu tidak segera pulang. Kalau begitu pulanglah. Jika belum selesai bisa dilanjutkan besok."

"Eh, tidak seperti itu juga Ndan. Ini sudah kewajiban saya. Mohon maaf Komandan, saya tidak bermaksud menyalahkan Komandan." Letnan Athar merasa bersalah telah berkata seperti tadi.

Lentera Jelita (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang