"Kau sudah merasa cukup tenang?" tanya Jillf.
Lexa mengangguk mengiyakan, "Apa mereka masih berbicara padamu?"
"Ya.." jawab gadis peri itu.
"Aku tidak menyangka kau akan mengaktifkan karuniamu yang lain, secepat ini." ujar sang werewolf sembari tersenyum.
Gadis itu hanya diam terpaku, "Hey, ada apa?" tanya Jillf dengan segera.
Lexa tersenyum tipis menatap Jillf, "Mereka membicarakanmu." timpalnya.
Jillf tampak tercekat, "Abaikan mereka dan jangan dengarkan jika mereka membicarakan yang tidak-tidak tentangku."
Gadis itu mengangguk, meski ia tetap mendengarkan apapun yang bola-bola api katakan padanya.
Jillf beranjak, mengambil baju dan mengenakannya. Lexa tampak memerah ketika menyadari jika sedari tadi, pria itu tidak mengenakan baju saat berada di dekatnya.
Sang werewolf mengernyitkan alis ketika melihat Lexa yang tertunduk menatap lantai, berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah padam.
"Apa yang mereka katakan padanya?" batin Jillf, menangkap maksud lain dari prilaku gadis peri itu.
Ia menyodorkan sebilah buku tebal di hadapan sang peri, membuat Lexa terperanjak kaget.
"Baca dan pelajarilah, mungkin di dalam buku ini," tunjuk Jillf, "Akan ada matera untuk membuatmu dapat mengontrol penglihatan atau pendengaran tentang mereka." sambungnya tampak kesal.
"Pria itu sepertinya marah padamu."
"Entahlah." jawab Lexa acuh, Jillf terlihat berbalik menatapnya sengit.
"A-aku sedang tidak berbicara denganmu, Jillf, sungguh!" ujar gadis peri itu, merasa takut dengan wajah sangar yang Jillf tujukan padanya.
"Apa yang mereka katakan padamu?" sergah pria itu datar.
"Mereka mengatakan jika kau marah padaku."
Jillf menatap Lexa dengan tatapan menela'a, "Dan kau mempercayainya?" timpalnya lagi.
"Dari yang kurasakan, sepertinya memang benar. Apa kau marah padaku karena mereka membicarakanmu?" timpal Lexa, suara gadis itu tampak bergetar dengan rona merah di wajahnya yang nyaris hilang.
Jillf membuang nafas kasar, "Aku hanya takut mereka berbicara yang tidak-tidak dan hal itu akan mempengaruhi pikiranmu terhadapku, Lexa." tuturnya sembari berjongkok agar ia dapat melihat wajah Lexa lebih dekat.
"Baiklah, cukup membicarakan hal ini. Aku akan melanjutkan pekerjaanku dan kau bisa mulai untuk mempelajari buku itu. Jika ada hal yang tidak kau mengerti, kau bisa tanyakan padaku." timpalnya dan segera meninggalkan Lexa seorang diri.
"Dia benar-benar marah! Kau lihat caranya memandangi peri cantik kita?"
"Benar! Rasa-rasanya aku ingin menendang bokongnya."
Lexa tampak tersenyum mendengar ocehan mereka, "Cukup, aku akan belajar. Bisakah kalian meninggalkanku sendiri?" pinta peri itu yang terlihat mulai terbiasa dengan kehadiran bola-bola api disekitarnya.
Mereka adalah roh tanpa raga yang terperangkap dalam wujud gumpalan api berwarna biru yang hidup dibalik pepohonan atau benda-benda yang dipuja oleh para kaum mortal dan immortal sekalipun. Jiwa mereka menuntun untuk mereka dapat bersosialisasi pada penyihir atau peri yang mampu melihat keberadaan mereka. Meski tidak semua bisa melakukannya, terkadang para roh itu dipergunakan dalam mencari sebuah informasi ataupun menolong dalam berbagai hal yang tidak bisa dilakukan makhluk lain. Meski demikian, konon katanya mereka memiliki sisi yang sedikit menyimpang, yaitu dapat menyerap energi siapa saja yang sering membuka komunikasi dengan mereka dalam kurun waktu yang lama. Dan hal itu bahkan akan sangat melelahkan dalam case tertentu, apalagi ketika mereka mulai cerewet dan mempertanyakan banyak hal. Para bola api tergolong dalam kelompok makhluk yang baik, meski memiliki sisi jahil dan manipulatif. Kejujuran merekapun terkadang mampu memecah belah sebuah hubungan, hanya karena tidak ada yang tersembunyi di hadapan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
POSSIBLE
Fantasy"A-apa yang kau lakukan pada tubuhku?" Ucap sang warrior. "Tenanglah, aku hanya membuatmu mati rasa untuk sementara waktu." tuturnya, datar. "Dia mengundangku?" batinnya. Senyum sinis itu berubah jadi tawa yang menggelegar. "A-alpha berkata akan me...